Keris adalah sejenis senjata tikam khas yang berasal dari Nusantara. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9, bahkan kemungkinan besar telah digunakan sebelum masa tersebut.
Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun Melayu. Pada
masa sekarang, keris umum dikenal di daerah Indonesia (terutama di
Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumatra, sebagian Kalimantan serta
Sulawesi), Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina (khususnya di
Mindanao). Di Mindanao, bentuk senjata yang juga disebut keris tidak
banyak memiliki kemiripan meski merupakan senjata tikam juga.
Keris memiliki berbagai macam bentuk. Ada yang bilahnya
berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah
lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteris
yang berbeda.
Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap
memiliki kekuatan supernatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam
berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda
Ken Arok dan Ken Dedes.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di
daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian
belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang.
Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina,
keris ditempatkan di depan.
Selain keris, masih terdapat sejumlah senjata tikam lain di wilayah
Nusantara, seperti rencong dari Aceh, badik dari Sulawesi, serta kujang
dari Jawa Barat. Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari
bilahnya. Bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi
merupakan campuran berbagai logam yang berlapis-lapis. Akibat teknik
pembuatan ini, keris memiliki kekhasan berupa pamor pada bilahnya.
Bagian-Bagian Keris
Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah mata pisau. Tetapi karena keris memunyai kelengkapan lainnya, yaitu warangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.
Pegangan keris atau hulu keris
Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman) ini bermacam-macam
motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa,
patung pedande, patung raksaka, patung penari, pertapa, hutan. Ada pula
yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia.
Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai
perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan
pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti
juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau-Lingga, dan
untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti
Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa,
Madura, dan Sulu, keris memunyai ukiran dan perlambang yang berbeda.
Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan
seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk
pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking (kepala bagian belakang), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan), weteng, dan bungkul.
Warangka atau sarung keris
Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar: kumpang),
adalah komponen keris yang berfungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan
sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat
secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu
(yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan
perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi warangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari: angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri, serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis warangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan warangka ladrang hanya tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk warangka ini sudah ditentukan, walau tidak mutlak. Warangka ladrang dipakai
untuk upacara resmi, misalnya menghadap raja, penobatan, pengangkatan
pejabat kerajaan, perkawinan, dengan maksud penghormatan. Tata cara
penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan warangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) atau di belakang (pinggang belakang).
Dalam peperangan, yang digunakan adalah keris warangka gayaman. Pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena warangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk
warangka. Bagian utama menurut fungsi warangka adalah bagian bawah yang
berbentuk panjang (sepanjang wilah keris) yang disebut gandar atau antupan,
maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya
terbuat dari kayu dengan dipertimbangkan agar tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran.
Karena fungsi gandar untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya
tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya dilapisi seperti
selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok (lapisan
selongsong) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam
kuningan, suasa (campuran tembaga emas), perak, emas. Untuk luar Jawa
(kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali) pendoknya terbuat
dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari
emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa
diartikan secara filosofis sebagai hubungan akrab, menyatu untuk
mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi
“manunggaling kawula-Gusti”, bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya
insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya,
sehingga kehidupan selalu aman damai, tenteram, bahagia, sehat
sejahtera. Manusia, selain saling menghormati satu dengan yang lain
masing-masing, juga harus tahu diri untuk bekarya sesuai dengan porsi
dan fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang
dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung
pelbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya, kini
terancam perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat
budayanya kurang diminati ketimbang aspek legenda dan magisnya.
Untuk keris Jawa, menurut bentuknya, pendok ada tiga macam, yaitu: (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan
yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari
hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos
(tanpa ukiran).
Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari
sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak
sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan
ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai
contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub, bungkul, kebo tedan, pudak sitegal.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yakni ujung bawah
sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan
keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan
penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti
pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (di Semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi,
sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya
tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, di mana ganja sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya.
Luk
Dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu
keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada
bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari
sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang
(kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada
wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak
pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga dan terbanyak adalah luk
tiga belas. Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas,
biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.
Pamor
Pamor merupakan hiasan, motif, atau ornamen yang terdapat pada bilah keris. Hiasan ini dibentuk tidak dengan diukir, diserasah (inlay),
atau dilapis, tetapi dengan teknik tempaan yang menyatukan beberapa
unsur logam berlainan. Teknik tempa senjata berpamor ini merupakan
keahlian khas Indonesia, terutama di Jawa.
Dilihat dari caranya, dikenal dua cara pembuatan pamor yang baik, yaitu mlumah dan miring. Pamor mlumah adalah
pamor yang lapisan-lapisannya mendatar, sejajar dengan permukaan bilah,
sedangkan pada pamor miring lapisan pamornya tegak lurus dengan
permukaan bilah. Pembuatan pamor mlumah lebih mudah daripada pamor
miring. Itulah sebabnya, nilai keris berpamor miring lebih tinggi
dibandingkan dengan pamor mlumah.
Tangguh keris
Di bidang perkerisan dikenal pengelompokan yang disebut tangguh
yang dapat berarti periode pembuatan atau gaya pembuatan. Hal ini
serupa dengan misalnya dengan tari Jawa gaya Yogyakarta dan Surakarta.
Pemahaman akan tangguh akan membantu mengenali ciri-ciri fisik suatu
keris.
Beberapa tangguh yang biasa dikenal:
· tangguh Majapahit,
· tangguh Pajajaran,
· tangguh Mataram,
· tangguh Yogyakarta,
· tangguh Surakarta.
Anatomi atau Ricikan Keris
Anatomi keris dikenal juga dengan istilah ricikan keris. Berikut ini akan diuraikan anatorni keris satu persatu.
- Ron dha, yaitu ornamen pada huruf Jawa dha.
- Sraweyan, yaitu dataran yang merendah di belakang sogogwi, di atas ganja.
- Bungkul, bentuknya seperti bawang, terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ganja.
- Pejetan, bentuknya seperti bekas pijatan ibu jari yang terletak di belakang gandik.
- Lambe gajah, bentuknya menyerupai bibir gajah. Ada yang rangkap dan Ietaknya menempel pada gandik.
- Gandik, berbentuk penebalan agak bulat yang memanjang dan terletak di atas sirah cecak atau ujung ganja.
- Kembang kacang, menyerupai belalai gajah dan terletak di gandik bagian atas.
- Jalen, menyerupai taji ayam jago yang menempel di gandik.
- Greneng, yaitu ornamen berbentuk huruf Jawa dha yang berderet.
- Tikel alis, terletak di atas pejetan dan bentuknya mirip alis mata.
- Janur, bentuk lingir di antara dua sogokan.
- Sogokan depan, bentuk alur dan merupakan kepanjangan dari pejetan.
- Sogokan belakang, bentuk alur yang terletak pada bagian belakang.
- Pudhak sategal, yaitu sepasang bentuk menajam yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan.
- Poyuhan, bentuk yang menebal di ujung sogokan.
- Landep, yaitu bagian yang tajam pada bilah keris.
- Gusen, terletak di be!akang landep, bentuknya memanjang dari sor-soran sampai pucuk.
- Gula milir, bentuk yang meninggi di antara gusen dan kruwingan.
- Kruwingan, dataran yang terletak di kiri dan kanan adha-adha.
- Adha-adha, penebalan pada pertengahan bilah dari bawah sampal ke atas.
Makna Desain Keris
Pulang Geni
Pulang Geni merupakan salah satu dapur keris yang populer dan
banyak dikenal karena memiliki padan nama dengan pusaka Arjuna. Pulang
Geni bermakna ratus atau dupa atau juga Kemenyan. Bahwa manusia hidup
harus berusaha memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik, suka
tolong menolong dan mengisi hidupnya dengan hal-hal atau aktivitas yang
bermanfaat bagi bangsa dan negara. Manusia harus berkelakuan baik dan
selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu
namanya akan selalu dikenang walau orang tersebut sudah meninggal. Oleh
karena itu, keris dapur Pulang Geni umumnya banyak dimiliki oleh para
pahlawan atau pejuang.
Kidang Soka
Kidang Soka memiliki makna “kijang yang berduka”. Bahwa
hidup manusia akan selalu ada duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak
terlalu larut dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus
berjalan dan harus terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi.
Keris ini memang memiliki ciri garap sebagaimana keris tangguh
Majapahit, tetapi dilihat pada penerapan pamor serta besinya, tidak
masuk dikategorikan sebagai keris yang dibuat pada zaman Majapahit. Oleh
karena itu, dalam pengistilahan perkerisan dikatakan sebagai keris
Putran atau Yasan yang diperkirakan dibuat pada zaman Mataram. Kembang
Kacang Pogog semacam ini umumnya disebut Ngirung Buto.
Sabuk Inten
Sabuk Inten merupakan salah satu dapur keris yang melambangkan
kemakmuran dan atau kemewahan. Dari aspek filosofi, dapur Sabuk Inten
melambangkan kemegahan dan kemewahan yang dimiliki oleh para pemilik
modal, pengusaha, atau pedagang pada zaman dahulu. Keris Sabuk Inten ini
menjadi terkenal, selain karena legendanya, juga karena adanya cerita
silat yang sangat populer berjudul Naga Sasra Sabuk Inten karangan Sabuk Inten karangan S.H. Mintardja pada 1970-an.
Naga Sasra
Naga Sasra adalah salah satu nama dapur “Keris Luk 13″ dengan
gandik berbentuk kepala naga yang badannya menjulur mengikuti sampai ke
hampir pucuk bilah. Salah satu dapur keris yang paling terkenal walau
jarang sekali dijumpai adanya keris Naga Sasra Tangguh tua. Umumnya
keris dapur Naga Sasra dihiasi dengan kinatah emas sehingga
penampilannya terkesan indah dan lebih berwibawa. Keris ini memiliki
gaya seperti umumnya keris Mataram Senopaten yang bentuk bilahnya
ramping seperti keris Majapahit, tetapi besi dan penerapan pamor serta
gaya pada wadidhang-nya menunjukkan ciri Mataram Senopaten.
Sepertinya keris ini berasal dari era Majapahit akhir atau bisa
juga awal era Mataram Senopaten (akhir abad ke-15 sampai awal abad
ke-16). Keris ini dulunya memiliki kinatah Kamarogan yang
karena perjalanan waktu, akhirnya kinatah emas tersebut hilang
terkelupas. Tetapi secara keseluruhan, terutama bilah keris ini masih
bisa dikatakan utuh. Keris dapur Naga Sasra berarti “ular yang jumlahnya
seribu (beribu-ribu)” dan juga dikenal sebagai keris dapur “Sisik
Sewu”. Dalam budaya Jawa, naga diibaratkan sebagai penjaga. Oleh karena
itu, banyak kita temui pada pintu sebuah candi atau hiasan lainnya yang
dibuat pada zaman dahulu. Selain penjaga, naga juga diibaratkan memiliki
wibawa yang tinggi. Oleh karena itu, keris Naga Sasra memiliki nilai
yang lebih tinggi daripada keris lainnya.
Sengkelat
Sengkelat adalah salah satu keris dari jaman Mataram Sultan Agung
(awal abad ke-17). Pamor keris sangat rapat, padat, dan halus. Ukuran
lebar bilah lebih lebar dari keris Majapahit, tetapi lebih ramping
daripada keris Mataram era Sultan Agung pada umumnya. Panjang bilah 38
cm, yang berarti lebih panjang dari Keris Sengkelat Tangguh Mataram
Sultan Agung umumnya. Bentuk luknya lebih rengkol dan dalam dari pada
keris era Sultan Agung pada umumnya. Ganja yang digunakan adalah Gonjo
Wulung (tanpa pamor) dengan bentuk Sirah Cecak runcing dan panjang
dengan buntut urang yang nguceng mati, Kembang Kacang Nggelung
Wayang. Jalennya pendek dengan Lambe Gajah yang lebih panjang dari
Jalen. Sogokan tidak terlalu dalam dengan janur yang tipis tetapi tegas
sampai ke pangkal bilah. Warangka keris ini menggunakan gaya Surakarta yang terbuat dari kayu cendana.
Raga Pasung atau Rangga Pasung
Raga Pasung, atau Rangga Pasung, memiliki makna sesuatu yang
dijadikan sebagai upeti. Dalam hidup di dunia, sesungguhnya hidup dan
diri manusia ini telah diupetikan kepada Tuhan YME. Dalam arti bahwa
hidup manusia ini sesungguhnya telah diperuntukkan untuk beribadah,
menyembah kepada Tuhan YME. Dan karena itu kita manusia harus ingat
bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya semu dan
kesemuanya adalah milik Tuhan YME.
Bethok Brojol
Bethok Brojol adalah keris dari tangguh tua juga. Keris semacam ini
umumnya ditemui pada tangguh tua seperti Kediri/Singasari atau
Majapahit. Dikatakan Bethok Brojol karena bentuknya yang pendek dan
sederhana tanpa ricikan kecuali Pijetan sepeti keris dapur Brojol.
Puthut Kembar
Puthut Kembar oleh banyak kalangan awam disebut sebagai Keris
Umphyang. Padahal sesungguhnya Umphyang adalah nama seorang empu, bukan
nama dapur keris. Juga ada keris dapur Puthut Kembar yang pada bilahnya
terdapat rajah dalam aksara Jawa kuno yang tertulis “Umpyang Jimbe”. Ini
juga merupakan keris buatan baru, mengingat tidak ada sama sekali dalam
sejarah perkerisan di mana sang empu menuliskan namanya pada bilah
keris sebagai label atau trade mark dirinya. Ini merupakan kekeliruan yang bisa merusak pemahaman terhadap budaya perkerisan.
Puthut dalam terminologi Jawa bermakna cantrik, atau orang
yang membantu atau menjadi murid dari seorang pandita/empu pada zaman
dahulu. Bentuk Puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik
atau santri yang diminta untuk menjaga sebilah pusaka oleh sang Pandita,
juga diminta untuk terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Sang
Pencipta. Bentuk orang menggunakan gelungan di atas kepala, menunjukkan
adat menyanggul rambut pada zaman dahulu. Bentuk wajahnya, walau samar,
masih terlihat jelas guratannya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa
dapur Puthut mulanya dibuat oleh Empu Umpyang yang hidup pada era Pajang
awal. Tetapi ini pun masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena
tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah.
Pajang
Ada keris yang bernama Pajang-Majapahit, yang berarti keris buatan
Pajang yang dibuat pada era Majapahit akhir. Penamaan keris ini perlu
diteliti kembali mengingat perbedaaan zaman antara Kerajaan Majapahit
(abad ke-14-15) dengan zaman Kerajaan Pajang (abad ke-17), meski dalam Nagarakretagama yang ditulis pada zaman Majapahit disebutkan adanya wilayah Pajang pada zaman tersebut.
Keris Lurus Semelang
Keris Lurus Semelang dalam bahasa Jawa bermakna
“kekhawatiran atau kecemasan terhadap sesuatu”. Sedangkan Gandring
memiliki arti “setia atau kesetiaan” yang juga bermakna “pengabdian”.
Dengan demikian, Sumelang Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari
sebuah kecemasan atas ketidaksetiaan akibat adanya perubahan. Ricikan
keris ini antara lain: gandik polos, sogokan satu di bagian depan dan
umumnya dangkal dan sempit, serta sraweyan dan tingil.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa keris dapur Sumelang Gandring
termasuk keris dapur yang langka atau jarang ditemui walau banyak
dikenal di masyarakat perkerisan. (Ensiklopedia Keris: 445-446).
Sumelang Gandring
Pusaka ini hilang dari Gedhong Pusaka Keraton. Lalu Raja menugaskan
Empu Supo Mandangi untuk mencari kembali pusaka yang hilang tersebut.
Dari sinilah berawal tutur mengenai nama Empu Pitrang yang tidak lain
juga adalah Empu Supo Mandrangi (Ensiklopedia Keris: 343-345).
Tilam Upih
Tilam Upih dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang
terbuat dari anyaman daun untuk tidur, diistilahkan untuk menunjukkan
ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu, banyak sekali
pusaka keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dapur Tilam
Upih. Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar
anak-cucunya nanti bisa memeroleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam
hidup berumah tangga.
Sedangkan Pamor ini dinamakan Udan Mas Tiban. Ini karena terlihat
dari penerapan pamor yang seperti tidak direncanakan sebelumnya oleh si
empu. Berbeda dengan kebanyakan Udan Mas Rekan yang bulatannya sangat
rapi dan teratur, Udan Mas Tiban ini bulatannya kurang begitu teratur
tetapi masih tersusun dalam pola 2-1-2. Pada 1930-an, yang dimaksud
dengan pamor Udan Mas adalah Pamor Udan Mas Tiban yang pembuatannya
tidak direncanakan oleh sang empu (bukan pamor rekan). Ini dikarenakan
pamor Udan Mas yang rekan dicurigai sebagai pamor buatan (rekan). Tetapi
toh juga banyak keris pamor udan mas rekan yang juga merupakan
pembawaan dari zaman dahulu.
Oleh banyak kalangan, keris dengan Pamor Udan Mas dianggap memiliki
tuah untuk memudahkan pemiliknya mendapatkan rezeki. Dengan rezeki yang
cukup,diharapkan seseorang bisa membina rumah tangga dan keluarga lebih
baik dan sejahtera. Lar Gang Sir konon merupakan kepanjangan dari Gelar
Ageman Siro yang memiliki makna bahwa gelar atau jabatan dan pangkat di
dunia ini hanyalah sebuah ageman atau pakaian yang suatu saat
tentu akan ditanggalkan. Karena itu jika kita memiliki jabatan/pangkat
atau kekayaan, maka janganlah kita sombong dan takabur (ojo dumeh).
Jangan mentang-mentang memiliki kekuasaan, pangkat dan jabatan atau
kekayaan, maka kita bisa seenaknya sendiri sesuai keinginan kita tanpa
memikirkan kepentingan orang lain.
Keris berasal dari Kepulauan Jawa diduga telah digunakan antara
abad ke-9 dan ke-14. Dalam beberapa pandangan penggolongan pembabakan
keris ini dapat digolongkan ke dalam:
Keris Buddha dan pengaruh India-Tiongkok
Kerajaan-kerajaan awal Indonesia sangat terpengaruh oleh budaya
Buddha dan Hindu. Candi di Jawa Tengah adalah sumber utama budaya zaman
tersebut. Namun sayang, sedikit sumber yang menginformasikan penggunaan
keris atau sesuatu yang serupa dengannya. Relief di Borobudur tidak
menunjukkan pisau belati yang mirip dengan keris.
Dari penemuan arkeologis banyak ahli yang setuju bahwa protokeris
berbentuk pisau lurus dengan bilah tebal dan lebar. Salah satu keris
tipe ini adalah keris milik keluarga Knaud, didapat dari Sri Paku Alam
V. Keris ini relief di permukaannya yang berisi epik Ramayana dan terdapat tahun Jawa 1264 (1342 Masehi), meski ada yang meragukan penanggalannya.
Pengaruh kebudayaan Tiongkok mungkin masuk melalui kebudayaan
Dongson di Vietnam yang merupakan penghubung antara kebudayaan Tiongkok
dengan dunia Melayu. Terdapat keris sajen yang memiliki bentuk gagang
manusia sama dengan belati Dongson.
Keris “Modern”
Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang
panjang. Keris modern yang dikenal saat ini adalah belati penusuk yang
unik. Keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan
Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18).
Pembagian masa keris juga terbagi dalam beberapa tahapan zaman, sebagi berikut:
1. Zaman Tangguh Budho (Kuno)
- Zaman Kerajaan Purwacarita, empunya adalah: Mpu Hyang Ramadi, Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, dan Mpu Sarpadewa.
- Zaman Kerajaan Tulis, empunya adalah Mpu Sukmahadi.
- Zaman Kerajaan Medang Kamulan, empunya adalah Mpu Bramakedali.
- Zaman Kerajaan Giling Wesi, empunya adalah: Mpu Saptagati dan Mpu Janggita.
- Zaman Kerajaan Wirotho, empunya adalah Mpu Dewayasa I.
- Zaman Kerajaan Mamenang, empunya adalah Mpu Ramayadi.
- Zaman Kerajaan Pengging Wiraradya, empunya adalah Mpu Gandawisesa, Mpu Wareng, dan Mpu Gandawijaya.
- Zaman Kerajaan Jenggala, empunya adalah Mpu Widusarpa dan Mpu Windudibya.
2. Zaman Tangguh Madya Kuno (Kuno Pertengahan)
Zaman Kerajaan Pajajaran Makukuhan, empunya adalah: Mpu
Srikanekaputra, Mpu Welang, Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala, Mpu
Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu kunda, Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu
Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan Mpu Anjani.
3. Zaman Tangguh Sepuh Tengahan (Tua Pertengahan)
- Zaman Kerajaan Jenggala, empunya adalah Mpu Sutapasana.
- Zaman Kerajaan Kediri.
- Zaman Kerajaan Majapahit.
- Zaman Tuban/sezaman Majapahit, empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
- Zaman Madura/sezaman Majapahit, empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu Lunglungan, dan Mpu Kebolungan.
- Zaman Blambangan/sezaman Majapahit, empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu Pitrang.
4. Zaman Tangguh Tengahan (Pertengahan)
- Zaman Kerajaan Demak, empunya adalah Mpu Joko Supo.
- Zaman Kerajaan Pajang, empunya adalah Mpu Omyang, Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
- Zaman Kerajaan Mataram, empunya adalah: Mpu Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono, Mpu Kithing, Mpu Warih Anom, dan Mpu Madrim.
5. Zaman Tangguh Nom (Muda)
- Zaman Kerajaan Kartasura, empunya adalah: Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
- Zaman Kasunanan Surakarta, empunya: Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.
Tahapan-tahapan zaman kerajaan berhubungan langsung dengan tahapan
zaman perkerisan. Dengan demikian pada setiap zaman kerajaan itu
terdapat beberapa orang eyang/empu yang bertugas untuk menciptakan
keris.
Empu Keris
Pertama, empu berarti sebutan kehormatan misalnya Empu Sedah atau
Empu Panuluh. Arti kedua adalah “ahli dalam pembuatan keris”. Dalam
kesempatan ini, empu yang kami bicarakan adalah seseorang yang ahli
dalam pembuatan keris. Dengan tercatatatnya berbagai nama “keris”
pastilah ada yang membuat. Pertama-tama yang harus diketahui adalah
tahapan zaman terlahirnya “keris” itu, kemudian meneliti bahan keris,
dan ciri khas sistem pembuatan keris. Ilmu untuk kepentingan itu
dinamakan “tangguh”. Dengan ilmu tangguh itu, kita dapat mengenali nama
para empu dan hasil karyanya yang berupa bilahan-bilahan keris, pedang,
tombak, dan lain-lainnya.
Keris-keris ciptaan empu itu setiap zaman memunyai ciri-ciri khas
tersendiri. Maka dari itu, para pendata benda pusaka itu tidak
kebingungan. Ciri khas terletak pada segi garap dan kualitas besinya.
Kualitas besi merupakan ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan
tingkat sistem pengolahan besi pada zaman itu, juga penggunaan bahan
“pamor” yang memunyai tahapan-tahapan pula. Bahan pamor yang mula-mula
dipergunakan batu “meteor” atau “batu bintang” yang dihancurkan dengan
menumbuknya hingga seperti tepung. Kemudian kita mengenali titanium
semacam besi warnanya keputihan seperti perak; besi titanium
dipergunakan pula sebagai bahan pamor. Titanium memunyai sifat keras dan
tidak dapat berkarat, sehingga baik sekali untuk bahan pamor. Sesuai
dengan asalnya di Prambanan maka pamor tersebut dinamakan pamor
Prambanan. Keris dengan pamor Prambanan dapat dipastikan bahwa keris
tersebut termasuk bertangguh Nom, karena diketemukannya pada zaman
Kerajaan Mataram Kartasura (1680-1744).
Kepustakaan
Duljoni. 2008. “Makna Desain Keris dalam Budaya Jawa” [Online] http://njowo.multiply.com/journal/item/185/Makna_Desain_Keris_Dalam_Budaya_Jawa tanggal 9 Juni 2009.
Pudjadi Soekarno. 1997. “The Javanese Keris, A Brief Description” [Online] http://www.nikhef.nl/~tonvr/keris/keris2/keris01.html, tanggal 7 Juni 2009.
Mas Kumitir. 2008. “Empu Keris” [Online] http://alangalangkumitir.wordpress.com/2008/07/24/empu-keris/Tanggal 15 April 2009.
Warto. 2008. “Makna Desain Keris dalam Budaya Jawa” [Online] http://warto.files.wordpress.com/2008/03/makna-desain-pada-benda-benda-budaya-di-jawa.pdf tanggal 9 Juni 2009.
_____ . 2009. “Keris” [Online] http://id.wikipedia.org/wiki/keris, tanggal 12 Juni, disarikan dari hasil Sarasehan Pameran Seni Tosan Aji, Bentara Budaya Jakarta, Budiarto Danujaya, Jakarta, 1996-2009.