Senin, 09 Desember 2013

KETOPRAK MASIH AXIS DI PATI

13.09


Keterdesakan ketoprak dari ranah hiburan sehari-hari telah bergema di hampir seluruh wilayah kultural kebudayaan Jawa. Ada yang menyebutnya sebagai masa senja kala dalam perjalanan kehidupannya. Dan lebih ekstrem lagi, ada yang menilainya di ambang kepunahan. Namun, kondisi anomali justru terjadi di Pati. Konon, hingga kini masyarakat di sana masih menunjukkan sikap apresiasi yang tak mati-mati. Wartawan Suara Merdeka Jokomono melaporkan dalam beberapa tulisan berikut.

KELANGSUNGAN hidup ketoprak di Pati menunjukkan raut dinamika nan energik. Di wilayah Bumi Mina Tani itu, menurut data Dinas Pendidikan setempat pada 2007, sedikitnya terdapat 35 grup. Besaran angka ini sangat mungkin masih dapat membengkak di lapangan.
Dari jumlah tersebut, 10 di antaranya berada dalam kriteria laris tanggapan. Yaitu Siswo Budoyo (Desa Growong Lor, Kecamatan Juwana), Cahyo Mudho (Bakaran Kulon, Juwana), Langen Marsudi Rini (Growong Kidul, Juwana), Wahyu Budoyo (Ngagel, Dukuhsekti).

Selanjutnya, Bangun Budoyo (Desa Karang, Kecamatan Juwana), Ronggo Budoyo (Rangga, Jaken), Dwijo Gumelar (Sidomukti, Jaken), Kridho Carito (Sumberejo, Jaken), Konyik Pati (Tlogowungu), dan Manggala Budaya (Pelemgede, Pucakwangi).

Menurut Sucipto Hadi Purnomo —putra asli Trikoyo, Jaken yang kini dosen Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang (Unnes)—, ketoprak di Pati pada umumnya bukan ketoprak tobong (berpindah-pindah tempat untuk menyelenggarakan pertunjukan) melainkan ketoprak tanggapan (pentas karena ada permintaan untuk suatu hajatan).
Berdasarkan penelitiannya selama enam tahun terakhir ini, indikasi ketoprak tetap survive antara lain ditandai dengan frekuensi pementasan yang relatif tinggi.

Papan Atas..

Cahyo Mudho yang merupakan salah satu grup papan atas dan telah mampu mengarungi samudra seni pertunjukan ketoprak sejak 1950, menunjukkan kemampuan bertahan yang mengangumkan. Bahkan, kelompok yang juga tersohor dengan sebutan Ketoprak Bakaran itu hingga kini pun masih tetap laris.

Selama 2001 Cahyo Mudho menjalani 161 kali tanggapan. Kemudian pada 2002 tercatat 159 kali, 2003 terbilang 138 kali. Pada 2004 sebanyak 139 kali dan 2005 ada 122 kali. Sepanjang 2006, mereka mendapatkan 140 kali tanggapan. Kebanyakan sekali tanggapan dua kali pentas baik siang maupun malam.

’’Itu boleh dibilang masih kalah laris dengan Siswo Budoyo. Meski belum genap 15 tahun usianya, kelompok ini yang terlaris. Pada 2006 misalnya, mereka pernah mendapatkan tanggapan 27 kali selama sebulan. Tak jarang pula, mereka terpaksa menolak permintaan tanggapan karena sudah telanjur menerima panjar dari yang lain,’’ ungkap Sucipto.

Ekspansi manggung, lanjutnya, mereka lakukan dengan memenuhi permintaan tanggapan dari luar daerah, seperti Kudus, Demak, Blora, Rembang, Jepara, Grobogan, Boyolali, dan Semarang. Bahkan, mereka pun merambah ke Madiun, Bojonegoro, dan Tuban di Jawa Timur.

Sebaliknya, melihat Pati sebagai sorganya ketoprak itu, mendorong para pemain dari luar daerah untuk berekspasi pula ke daerah tersebut.

’’Selama satu dasawarsa terakhir ini tak sedikit para pemain ketoprak dari Tulungagung, Kediri, Solo, dan Yogyakarta yang ’merumput’ di Pati baik sebagai anggota tetap maupun bon-bonan (pemain tamu),’’ tutur ayah tiga putra itu.

Fungsi Penopang

Kelangsungan hidup grup-grup ketoprak di Pati mendapat dukungan sejumlah fungsi penopang, salah satunya karena masyarakat di wilayah pesisir utara Jawa Tengah itu rata-rata masih ngugemi teks-teks seremonial yang berkaitan dengan khitanan atau pernikahan.

Dengan kata lain, kehadirannya menjadi bagian integral dari atmosfer kosmologi budaya setempat. Dan, sebagai ketoprak yang mengandalkan kelangsungan hidupnya dari permintaan tanggapan, tak pelak lagi arah segmentasinya menuju ke sana.

’’Selain Sura dan Pasa dalam penanggalan Jawa, sampai sekarang tak terlalu sulit mendapati pentas ketoprak di kawasan Pati. Lebih-lebih pada bulan ’baik’ untuk menggelar hajatan mantu dan sunatan, seperti Madilawal, Madilakir, Rejeb, Ruwah, Sawal, Apit, dan Besar. Itu belum termasuk pentas pitulasan,’’ tutur Sucipto.

Lebih lanjut dia menyebutkan, hampir semua desa di Pati mengadakan ritual Sedekah Bumi ataupun Sedekah Laut. ’’Setiap tahun pula, warga di daerah saya tak pernah melewatkan dengan perayaan yang dipuncaki dengan pergelaran kesenian. Dan, ketopraklah yang menjadi pilihan utama. Biasanya pentas siang sekitar pukul 12.30-16.30 sedangkan malam pukul 20.30- 03.00. Soal waktu bisa luwes mulur mungkret-nya tapi tak jauh-jauh dari kisaran itu,’’ tutur dia.

Imbas dari daya survive ketoprak di Pati, menempatkan kehadirannya dalam fungsi sebagai sarana penghidupan. Tentu saja, para pemain, niyaga, waranggana, dan tempat persewaan sarana pentas menjadi lapis pertama yang terkenai imbas positif tersebut.

Lapis berikutnya yang merasai keuntungan ekonomi adalah para pedagang kaki lima yang mrema di sekitar tempat pertunjukan. Biasanya, mereka memiliki jadwal pentas kelompok-kelompok besar dalam sebulan. Dengan berbekal petunjuk itulah mereka turut mengais rezeki.

Fungsi penopang yang paling substansial adalah adanya penonton yang meminati ketoprak. Namun, peran mereka akan sangat tergantung pada kemampuan para pelaku seni melakukan sentuhan ’’ijtihad-ijtihad’’ artistik yang memenuhi selera pasar.

Bukti, dewasa ini tidak sulit memperoleh keping-keping VCD ketoprak Pati di pedagang kaki lima adalah salah satu wujud riil betapa sosok kesenian tradisional tersebut masih lekat di hati masyarakat.

Sumber : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/24/2255/Di-Pati-Ketoprak-Tak-Mati

Written by

We are Creative Blogger Theme Wavers which provides user friendly, effective and easy to use themes. Each support has free and providing HD support screen casting.

0 komentar:

JM

JM
Powered By Blogger

Halaman

 

© 2013 JARENE MBAHE. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top