Kamis, 26 Desember 2013

Menelusuri Jejak Sejarah Kerajaan Majapahit

Kerajaan majapahit yang berdiri abad Xlll-XIV atau tahun 1293-1500 M oleh raden wijaya telah mengalami masa kejayaan terutama pada masa pemerintahan hayam wuruk sekitar tahun 1350-an hingga tahun 1389 M dengan patih gajahmada melalui sumpah palapa.Kurun waktu 202 tahun atau 2 abad lebih kerajaan majapahit mampu menguasai wilayah nusantara hingga semenanjung malaya membuat kerajaan majapahit sebagai kerajaan terbesar di nusantara .Kini pasca keruntuhan kerajaan majapahit lebih kurang 5 abad yang lalu masih dapat dilihat sisa-sisa kejayaan majapahit yang mencapai puluhan bahkan ratusan yang tersebar dikawasan mojokerto dan sekitarnya.Situs kerajaan majapahit ini dapat dijumpai salah satunya dikawasan kecamatan Trowulan ,mojokerto yang diduga menjadi pusat kerajaan majapahit dan hampir setiap sudut desa dikecamatan Trowulan dapat dengan mudah menemukan sisa-sisa peninggalan kerajaan majapahit belum lagi ratusan benda peninggalan majapahit yang belum terungkap dan tertimbun tanah situs ngliguk,trowulan misalnya yang ada didesa nglinguk .Di desa ini cukup banyak dijumpai peninggalan kerajaan majapahit seperti candi yang terbuat dari batu andesit kemudian pecahan tembikar,keramik,yoni,mata uang logam,sumur kono,tapi sayangnya situs majapahit di Nglinguk mengalami banyak kerusakan .Jejak sejarah majapahit tak kalah menarik candi brahu didesa Bejijong,trowulan masih terlihat utuh mengingat candi ini disinyalir sebagai tempat pembakaran jenazah atau kreamasi jenazah selanjutnya candi wringin lawang didukuh wringin,jatipasar berbentuk gapura juga diduga sebagai pintu gembar komplek kerajaan .Peninggalan majapahit di Trowulan ini umumnya berbentuk candi seperti candi tikus,kedaton dan beberapa candi unik lainnya dikawasan trowulao.Menariknya bahan bangunan peninggalan majapahit berasal dari bata merah sebagaimana terlihat dari hasil temuan dikawasan Trowulan belum lama ini salah satunya situs puri,sumber girang yang ada didesa puri .Di desa ini banyak ditemukan susunan bata merah yang diduga bekas rumah penduduk masa kerajaan majapahit dan uniknya bata merah sejenis ini dapat dengan mudah ditemui baik persawahan,pemukiman penduduk dan berbagai tempat dikawasan Trowulan.Peninggalan sejarah kerajaan majapahit selain berbentuk candi,tembikar,yoni ,mata uang juga ditemukan kolam kuno yang dikenal kolam segaran diduga sebagai tempat rekreasi dan menjamu tamu-tamu kerajaaan kemudian penemuan puluhan situs majapahit didesa trowulan yakni bangunan ,arca ,gerabah serta makam yang disinyalir sebagai pusat kerajaan sebagaimana tertulis dalam kitab kakawin nagarakertagama.Menariknya peninggalan sejarah majapahit tidak terbatas pada cagar budaya tetapi mampu menciptakan seni budaya sebagai cikal bakal kebudayaan baru di Indonesia salah satu seni terakota atau kerajinan tanah liat/batu bata yang tersebar di Trowulan dan sekitarnya.Seni terakota yang berkembang di Trowulan sebagaimana penemuan beberapa cagar budaya yang terbuat dari tanah merah seperti jambangan ,genting,batu merah ,vas bunga dan lainnya diduga sebagai mata pencaharian penduduk pada masa majapahit.Seni terakota dimasa majapahit masih menggunakan metode sederhana penjemuran dengan sinar matahari serta metode pembakaran yang tetap bertahan hingga khni.Sayangnya beragam peninggalan cagar budaya yang banyak ditemukan dalam kawasan trowulan dan sekitarnya terancam punah pasalnya pengrajin batu bata seringkali menemukan batu batu kuno atau benda purbakala saat menggali dan mencari tanah merah sebagai bahan pembuatan batu bata kemudian batu bata kuno maupun benda purbakala lainnya bukannya diserahkan pada pihak berwenang melainkan diperjualbelikan secara bebas ,akibatnya setiap ada penemuan baru cagar budaya keselamatannya tidak dapat dijamin kadang hilang entah kemana.Situs majapahit dikawasan Trowulan bernilai historis dan peradapan yang tinggi dan sesungguhnya bila dikembangkan secara proporsional tidak kalah dengan situs dinegara mesir atau italia

Sumber : http://nantly.mywapblog.com/

RESEP DAN CARA MEMBUAT NASI GANDUL LEZAT KHAS PATI JATENG

Nasi gandul ialah suatu panganan berbahan pokok nasi yang hampir mirip dengan nasi pindang, akan tetapi cara penyajian nasi gandul ini menggunakan daun pisang sebagai alasnya. Nasi gandul merupakan masakan khas dari daerah Pati, Jawa Tengah. Masakan ini biasanya menggunakan jeroan sapi, hati dan rempelo sapi, lidah sapi, atau juga daging sapi sebagai bahan utamanya. Nasi gandul sendiri memiliki jumlah kolesterol yang tinggi dikarenakan kandungan lemak yang cukup tinggi yang terdapat dari bahan-bahan seperti jeroan atau usus sapi yang digunakan.
Sebagai gantinya dalam resep kali ini akan digunakan daging sapi sebagai pengganti jeroan sapi. Adapun cara membuat nasi gandul antara lain :

Bahan-bahan yang dibutuhkan :
1. 500 gram daging sapi.
2. 1 ½ liter santan cair atau encer.
3. 1 batang serai (geprak dan memarkan).
4. 2 lembar daun salam.
5. 1 ruas lengkuas kira-kira 2 cm.
6. Minyak goreng digunakan untuk menumis.
Bumbu yang dihaluskan :
1. 4 siung bawang merah.
2. 4 siung bawang putih.
3. 3 buah cabai merah keriting.
4. 3 butir kemiri sangrai.
5. ½ sdm ketumbar sangrai.
6. 1 sdt merica halus.
7. 1 sdt jintan.
8. 1 ruas kencur kira-kira 1 cm.
9. 1 ruas jahe kira-kira 1 cm.
10. 1 sdt terasi bakar.
11. garam halus secukupnya.
12. ½ sdm gula merah kemudian sisir halus.

Cara membuat :

  - Pertama, bersihkan daging sapi kemudian potong-potong daging berbentuk dadu kecil. Lalu tiriskan.
  - Selanjutnya, panaskan minyak goreng kemudian tumis bumbu yang dihaluskan bersama dengan serai, daun salam dan lengkuas. Tumis bahan-bahan tersebut hingga harum.
  - Setelah itu, rebus santan yang telah disiapkan bersama dengan potongan daging sapi dan bumbu yang telah ditumis tadi. Rebus hingga mendidih dan daging terasa empuk.
  - Cara penyajiannya, siapkan selembar daun pisang yang telah dibersihkan lalu taruh diatas mangkuk atau piring saji, kemudian tambahkan nasi dan tuangkan pula rebusan daging sapi tadi bersama kuahnya.

Sajikan nasi gandul selagi hangat. Semoga resep dan cara membuat nasi gandul lezat khas Pati ini dapat membantu ibu-ibu menyajikan hidangan lezat dirumahnya. Selamat mencoba.

SEJARAH RUNTUHNYA KERAJAAN MAJAPAHIT

Majapahit adalah sebuah Kerajaan besar. Sebuah Emperor. Yang wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera, sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit.

 Majapahit berdiri pada tahun 1293 Masehi. Didirikan oleh Raden Wijaya yang lantas setelah dikukuhkan sebagai Raja beliau bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Eksistensi Majapahit sangat disegani diseluruh dunia. Diwilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua Kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.

 Lambang Negara Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Melambangkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang nasionalisme sejati. Lambang kecintaan pada bhumi pertiwi. Karma Bhumi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang didaerah Mojokerto, Jawa Timur. Pelabuhan iInternasional-nya waktu itu adalah Gresik.



Agama resmi Negara adalah Hindhu aliran Shiwa dan Buddha. Dua agama besar ini dikukuhkan sebagai agama resmi Negara. Sehingga kemudian muncul istilah agama Shiva Buddha. Nama Majapahit sendiri diambil dari nama pohon kesayangan Deva Shiva, Avatara Brahman, yaitu pohon Bilva atau Vilva. Di Jawa pohon ini terkenal dengan nama pohon Maja, dan rasanya memang pahit. Maja yang pahit ini adalah pohon suci bagi penganut agama Shiva, dan nama dari pohon suci ini dijadikan nama kebesaran dari sebuah Emperor di Jawa. Dalam bahasa sanskerta, Majapahit juga dikenal dengan nama Vilvatikta (Wilwatikta. Vilva: Pohon Maja, Tikta : Pahit ). Sehingga, selain Majapahit ( baca : Mojopait) orang Jawa juga mengenal Kerajaan besar ini dengan nama Wilwatikta ( Wilwotikto

).



Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabhu Hayam Wuruk (1350-1389 M) dengan Mahapatih Gajah Mada-nya yang kesohor dipelosok Nusantara itu. Pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan seluruh rakyat Nusantara. Benar-benar jaman yang gilang gemilang!



Stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama Perang Pare-greg (1401-1406 M). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat Pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukkan oleh seorang ksatria berdarah Blambangan sendiri yang membelot ke Majapahit, yaitu Raden Gajah. ( Kisah ini terkenal didalam masyarakat Jawa dalam cerita rakyat pemberontakan Adipati Blambangan Kebo Marcuet. Kebo = Bangsawan, Marcuet = Kecewa. Kebo Marcuet berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran. Jaka = Perjaka, Umbaran = Pengembara. Dan Jaka Umbaran setelah berhasil menaklukkan Adipati Kebo Marcuet, dikukuhkan sebagai Adipati Blambangan dengan nama Minak Jingga. Minak = Bangsawan, Jingga = Penuh Keinginan. Adipati Kebo Marcuet inilah Bhre Wirabhumi, dan Minak Jingga tak lain adalah Raden Gajah, keponakan Bhre Wirabhumi sendiri.)



Namun, sepeninggal Prabhu Wikramawardhana, ketika tahta Majapahit dilimpahkan kepada Ratu Suhita, Malahan Raden Gajah yang kini hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan karena merasa diingkari janjinya. Dan tampillah Raden Paramesywara, yang berhasil memadamkan pemberontakan Raden Gajah. Pada akhirnya, Raden Paramesywara diangkat sebagai suami oleh Ratu Suhita. ( Dalam cerita rakyat, inilah kisah Damar Wulan. Ratu Suhita tak lain adalah Kencana Wungu. Kencana = Mutiara, Wungu = Pucat pasi, ketakutan. Dan Raden Paramesywara adalah Damar Wulan. Damar = Pelita, Wulan = Sang Rembulan.

)



Kondisi Majapahit stabil lagi. Hingga pada tahun 1453 Masehi, tahta Majapahit dipegang oleh Raden Kertabhumi yang lantas terkenal dengan gelar Prabhu Brawijaya ( Bhre Wijaya). Pada jaman pemerintahan beliau inilah, Islamisasi mulai merambah wilayah kekuasaan Majapahit, dimulai dari Malaka. Dan kemudian, mulai masuk menuju ke pusat kerajaan, ke pulau Jawa.



Dan kisahnya adalah sebagai berikut :





Diwilayah Kamboja selatan, dulu terdapat Kerajaan kecil yang masuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Kerajaan Champa namanya. ( Sekarang hanya menjadi perkampungan Champa ). Kerajaan ini berubah menjadi Kerajaan Islam semenjak Raja Champa memeluk agama baru itu. Keputusan ini diambil setelah seorang ulama Islam datang dari Samarqand, Bukhara. ( Sekarang didaerah Rusia Selatan). Ulama ini bernama Syeh Ibrahim As-Samarqand. Selain berpindah agama, Raja Champa bahkan mengambil Syeh Ibrahim As-Samarqand sebagai menantu.



Raja Champa memiliki dua orang putri. Yang sulung bernama Dewi Candrawulan dan yang bungsu bernama Dewi Anarawati. Syeh Ibrahim As-Samarqand dinikahkan dengan Dewi Candrawati. Dari hasil pernikahan ini, lahirlah dua orang putra, yang sulung bernama Sayyid ‘Ali Murtadlo, dan yang bungsu bernama Sayyid ‘Ali Rahmad. Karena berkebangsaan Champa ( Indo-china ), Sayyid ‘Ali Rahmad juga dikenal dengan nama Bong Swie Hoo. ( Nama Champa dari Sayyid ‘Ali Murtadlo, Raja Champa, Dewi Candrawulan dan Dewi Anarawati, saya belum mengetahuinya : Damar Shashangka

).



Kerajaan Champa dibawah kekuasaan Kerajaan Besar Majapahit yang berpusat di Jawa. Pada waktu itu Majapahit diperintah oleh Raden Kertabhumi atau Prabhu Brawijaya semenjak tahun 1453 Masehi. Beliau didampingi oleh adiknya Raden Purwawisesha sebagai Mahapatih. Pada tahun 1466, Raden Purwawisesha mengundurkan diri dari jabatannya, dan sebagai penggantinya diangkatlah Bhre Pandhansalas. Namun dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1468 Masehi, Bhre Pandhansalas juga mengundurkan diri.



Praktis semenjak tahun 1468 Masehi, Prabhu Brawijaya memerintah Majapahit tanpa didampingi oleh seorang Mahapatih. Apakah gerangan dalam masa pemerintahan Prabhu Brawijaya terjadi dua kali pengunduran diri dari seorang Mahapatih? Sebabnya tak lain dan tak bukan karena Prabhu Brawijaya terlalu lunak dengan etnis China dan orang-orang muslim.



Diceritakan, begitu Prabhu Brawijaya naik tahta, Kekaisaran Tiongkok mengirimkan seorang putri China yang sangat cantik sebagai persembahan kepada Prabhu Brawijaya untuk dinikahi. Ini dimaksudkan sebagai tali penyambung kekerabatan dengan Kekaisaran Tiongkok. Putri ini bernama Tan Eng Kian. Sangat cantik. Tiada bercacat. Karena kecantikannya, setelah Prabhu Brawijaya menikahi putri ini, praktis beliau hampi-hampir melupakan istri-istrinya yang lain. ( Prabhu Brawijaya banyak memiliki istri, dari berbagai istri beliau, lahirlah tokoh-tokoh besar. Pada kesempatan lain, saya akan menceritakannya : Damar Shashangka

).



Ketika putri Tan Eng Kian tengah hamil tua, rombongan dari Kerajaan Champa datang menghadap. Raja Champa sendiri yang datang. Diiringi oleh para pembesar Kerajaan dan ikut juga dalam rombongan, Dewi Anarawati. Raja Champa banyak membawa upeti sebagai tanda takluk. Dan salah satu upeti yang sangat berharga adalah, Dewi Anarawati sendiri.



Melihat kecantikan putri berdarah indo-china ini, Prabhu Brawijaya terpikat. Dan begitu Dewi Anarawati telah beliau peristri, Tan Eng Kian, putri China yang tengah hamil tua itu, seakan-akan sudah tidak ada lagi di istana. Perhatian Prabhu Brawijaya kini beralih kepada Dewi Anarawati.



Saking tergila-gilanya, manakala Dewi Anarawati meminta agar Tan Eng Kian disingkirkan dari istana, Prabhu Brawijaya menurutinya. Tan Eng Kian diceraikan. Lantas putri China yang malang ini diserahkan kepada Adipati Palembang Arya Damar untuk diperistri. Adipati Arya Damar sesungguhnya juga peranakan China. Dia adalah putra selir Prabhu Wikramawardhana, Raja Majapahit yang sudah wafat yang memerintah pada tahun 1389-1429 Masehi, dengan seorang putri China pula.



Nama China Adipati Arya Damar adalah Swan Liong. Menerima pemberian seorang janda dari Raja adalah suatu kehormatan besar. Perlu dicatat, Swan Liong adalah China muslim. Dia masuk Islam setelah berinteraksi dengan etnis China di Palembang, keturunan pengikut Laksamana Cheng Ho yang sudah tinggal lebih dahulu di Palembang. Oleh karena itulah, Palembang waktu itu adalah sebuah Kadipaten dibawah kekuasaan Majapahit yang bercorak Islam.



Arya Damar menunggu kelahiran putra yang dikandung Tan Eng Kian sebelum ia menikahinya. Begitu putri China ini selesai melahirkan, dinikahilah dia oleh Arya Damar.



Anak yang lahir dari rahim Tan Eng Kian, hasil dari pernikahannya dengan Prabhu Brawijaya, adalah seorang anak lelaki. Diberi nama Tan Eng Hwat. Karena ayah tirinya muslim, dia juga diberi nama Hassan. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Raden Patah!



Dari hasil perkawinan Arya Damar dengan Tan Eng Kian, lahirlah juga seorang putra. Diberinama Kin Shan. Nama muslimnya adalah Hussein. Kelak di Jawa, dia terkenal dengan nama Adipati Pecattandha, atau Adipati Terung yang terkenal itu!



Kembali ke Jawa. Dewi Anarawati yang muslim itu telah berhasil merebut hati Prabhu Brawijaya. Dia lantas menggulirkan rencana selanjutnya setelah berhasil menyingkirkan pesaingnya, Tan Eng Kian. Dewi Anarawati meminta kepada Prabhu Brawijaya agar saudara-saudaranya yang muslim, yang banyak tinggal dipesisir utara Jawa, dibangunkan sebuah Ashrama, sebuah Peshantian, sebuah Padepokan, seperti halnya Padepokan para Pandhita Shiva dan para Wiku Buddha.



Mendengar permintaan istri tercintanya ini, Prabhu Brawijaya tak bisa menolak. Namun yang menjadi masalah, siapakah yang akan mengisi jabatan sebagai seorang Guru layaknya padepokan Shiva atau Mahawiku layaknya padepokan Buddha? Pucuk dicinta ulam tiba, Dewi Anarawati segera mengusulkan, agar diperkenankan memanggil kakak iparnya, Syeh Ibrahim As-Samarqand yang kini ada di Champa untuk tinggal sebagai Guru di Ashrama Islam yang hendak dibangun. Dan lagi-lagi, Prabhu Brawijaya menyetujuinya.



Para Pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah melihat gelagat yang tidak baik. Mereka dengan halus memperingatkan Prabhu Brawijaya, agar selalu berhati-hati dalam mengambil sebuah keputusan penting.



Tak kurang-kurang, Sabdo Palon dan Nayagenggong, punakawan terdekat Prabhu Brawijaya juga sudah memperingatkan agar momongan mereka ini berhati-hati, tidak gegabah. Namun, Prabhu Brawijaya, bagaikan orang mabuk, tak satupun nasehat orang-orang terdekatnya beliau dengarkan.



Perekonomian Majapahit sudah hamper didominasi oleh etnis China semenjak putri Tan Eng Kian di peristri oleh Prabhu Brawijaya, dan memang itulah misi dari Kekaisaran Tiongkok. Kini, dengan masuknya Dewi Anarawati, orang-orang muslim-pun mendepat kesempatan besar. Apalagi, pada waktu itu, banyak juga orang China yang muslim. Semua masukan bagi Prabhu Brawijaya tersebut, tidak satupun yang diperhatikan secara sungguh-sungguh. Para Pejabat daerah mengirimkan surat khusus kepada Sang Prabhu yang isinya mengeluhkan tingkah laku para pendatang baru ini. Namun, tetap saja, ditanggapi acuh tak acuh.



Hingga pada suatu ketika, manakala ada acara rutin tahunan dimana para pejabat daerah harus menghadap ke ibukota Majapahit sebagai tanda kesetiaan, Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker ( Ponorogo sekarang), mempersembahkan tarian khusus buat Sang Prabhu. Tarian ini masih baru. Belum pernah ditampilkan dimanapun. Tarian ini dimainkan dengan menggunakan piranti tari bernama Dhadhak Merak. Yaitu sebuah piranti tari yang berupa duplikat kepala harimau dengan banyak hiasan bulu-bulu burung merak diatasnya. Dhadhak Merak ini dimainkan oleh satu orang pemain, dengan diiringi oleh para prajurid yang bertingkah polah seperti banci. ( Sekarang dimainkan oleh wanita tulen). Ditambah satu tokoh yang bernama Pujangganom dan satu orang Jathilan. Sang Pujangganom tampak menari-nari acuh tak acuh, sedangkan Jathilan, melompat-lompat seperti orang gila.



Sang Prabhu takjub melihat tarian baru ini. Manakala beliau menanyakan makna dari suguhan tarian tersebut, Ki Ageng Kutu, Adipati dari Wengker yang terkenal berani itu, tanpa sungkan-sungkan lagi menjelaskan, bahwa Dhadhak Merak adalah symbol dari Kerajaan Majapahit sendiri. Kepala Harimau adalah symbol dari Sang Prabhu. Bulu-bulu merak yang indah adalah symbol permaisuri sang Prabhu yang terkenal sangat cantik, yaitu Dewi Anarawati. Pasukan banci adalah pasukan Majapahit. Pujangganom adalah symbol dari Pejabat teras, dan Jathilan adalah symbol dari Pejabat daerah.



Arti sesungguhnya adalah, Kerajaan Majapahit, kini diperintah oleh seekor harimau yang dikangkangi oleh burung Merak yang indah. Harimau itu tidak berdaya dibawah selangkangan sang burung Merak. Para Prajurid Majapahit sekarang berubah menjadi penakut, melempem dan banci, sangat memalukan! Para pejabat teras acuh tak acuh dan pejabat daerah dibuat kebingungan menghadapi invasi halus, imperialisasi halus yang kini tengah terjadi. Dan terang-terangan Ki Ageng Kutu memperingatkan agar Prabhu Brawijaya berhati-hati dengan orang-orang Islam!



Kesenian sindiran ini kemudian hari dikenal dengan nama REOG PONOROGO!



Mendengar kelancangan Ki Ageng Kutu, Prabhu Brawijaya murka! Dan Ki Ageng Kutu, bersama para pengikutnya segera meninggalkan Majapahit. Sesampainya di Wengker, beliau mamaklumatkan perang dengan Majapahit!



Prabhu Brawijaya mengutus putra selirnya, Raden Bathara Katong untuk memimpin pasukan Majapahit, menggempur Kadipaten Wengker! ( Akan saya ceritakan pada bagian kedua : Damar Shashangka.

)



Prabhu Brawijaya, menjanjikan daerah ‘perdikan’. Daerah perdikan adalah daerah otonom. Beliau menjanjikannya kepada Dewi Anarawati. Dan Dewi Anarawati meminta daerah Ampeldhenta ( didaerah Surabaya sekarang ) agar dijadikan daerah otonom bagi orang-orang Islam. Dan disana, rencananya akan dibangun sebuah Ashrama besar, pusat pendidikan bagi kaum muslim.



Begitu Prabhu Brawijaya menyetujui hal ini, maka Dewi Anarawati, atas nama Negara, mengirim utusan ke Champa. Meminta kesediaan Syeh Ibrahim As-Samarqand untuk tinggal di Majapahit dan menjadi Guru dari Padepokan yang hendak dibangun.



Dan permintaan ini adalah sebuah kabar keberhasilan luar biasa bagi Raja Champa. Misi peng-Islam-an Majapahit sudah diambang mata. Maka berangkatlah Syeh Ibrahim As-Samarqand ke Jawa. Diiringi oleh kedua putranya, Sayyid ‘Ali Murtadlo dan Sayyid ‘Ali Rahmad.



Sesampainya di Gresik, pelabuhan Internasional pada waktu itu, mereka disambut oleh masyarakat muslim pesisir yang sudah ada disana sejak jaman Prabhu Hayam Wuruk berkuasa. Masyarakat muslim ini mulai mendiami pesisir utara Jawa semenjak kedatangan Syeh Maulana Malik Ibrahim, yang pada waktu itu memohon menghadap kehadapan Prabhu Hayam Wuruk hanya untuk sekedar meminta beliau agar ‘pasrah’ memeluk Islam. Tentu saja, permintaan ini ditolak oleh Sang Prabhu Hayam Wuruk pada waktu itu karena dianggap lancang. Namun, beliau sama sekali tidak menjatuhkan hukuman. Beliau dengan hormat mempersilakan rombongan Syeh Maulana Malik Ibrahim agar kembali pulang. Namun sayang, di Gresik, banyak para pengikut Syeh Maulana Malik Ibrahim terkena wabah penyakit yang datang tiba-tiba. Banyak yang meninggal. Dan Syeh Maulana Malik Ibrahim akhirnya wafat juga di Gresik, dan lantas dikenal oleh orang-orang Jawa muslim dengan nama Sunan Gresik.



Syeh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik telah datang jauh-jauh hari sebelum ada yang dinamakan Dewan Wali Sangha ( Sangha = Perkumpulan orang-orang suci. Sangha diambil dari bahasa Sansekerta. Bandingkan dengan doktrin Buddhis mengenai Buddha, Dharma dan Sangha. Kata-kata Wali Sangha lama-lama berubah menjadi Wali Songo yang artinya Wali Sembilan.: Damar Shashangka

)



Rombongan dari Champa ini sementara waktu beristirahat di Gresik sebelum meneruskan perjalanan menuju ibukota Negara Majapahit. Sayang, setibanya di Gresik, Syeh Ibrahim As-Samarqand jatuh sakit dan meninggal dunia. Orang Jawa muslim mengenalnya dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. Makamnya masih ada di Gresik sekarang.



Kabar meninggalnya Syeh Ibrahim As-Samarqand sampai juga di istana. Dewi Anarawati bersedih. Lantas, kedua putra Syeh Ibrahim As-Samarqand dipanggil menghadap. Atas usul Dewi Anarawati, Sayyid ‘Ali Rahmad diangkat sebagai pengganti ayahnya sebagai Guru dari sebuah Padepokan Islam yang hendak didirikan.



Bahkan, Sayyid ‘Ali Rahmad dan Sayyid ‘Ali Murtadlo mendapat gelar kebangsawanan Majapahit, yaitu Rahadyan atau Raden. Jadilah mereka dikenal dengan nama Raden Rahmad dan Raden Murtolo ( Orang Jawa tidak bisa mengucapkan huruf ‘dlo’. Huruf ‘dlo’ berubah menjadi ‘lo’. Seperti Ridlo, jadi Rilo, Ramadlan jadi Ramelan, Riyadloh jadi Riyalat, dll). Namun lama kelamaan, Raden Murtolo dikenal dengan nama Raden Santri, makamnya juga ada di Gresik sekarang.



Raden Rahmad, disokong pendanaan dari Majapahit, membangun pusat pendidikan Islam pertama di Jawa. Para muslim pesisir datang membantu. Tak berapa lama, berdirilah Padepokan Ampeldhenta. Istilah Padepokan lama-lama berubah menjadi Pesantren untuk membedakannya dengan Ashrama pendidikan Agama Shiva dan Agama Buddha. Lantas dikemudian hari, Raden Rahmad dikenal dengan nama Sunan Ampel.



Raden Santri, mengembara ke Bima, menyebarkan Islam disana, hingga ketika sudah tua, ia kembali ke Jawa dan meniggal di Gresik.



Para pembesar Majapahit, Para Pandhita Shiva dan Para Wiku Buddha, sudah memperingatkan Prabhu Brawijaya. Sebab sudah terdengar kabar dimana-mana, kaum baru ini adalah kaum missioner. Kaum yang punya misi tertentu. Malaka sudah berubah menjadi Kadipaten Islam, Pasai juga, Palembang juga, dan kini gerakan itu sudah semakin dekat dengan pusat kerajaan.



Semua telah memperingatkan Sang Prabhu. Tak ketinggalan pula Sabdo Palon dan Naya Genggong. Namun, bagaikan berlalunya angin, Prabhu Brawijaya tetap tidak mendengarkannya.Raja Majapahit yang ditakuti ini, kini bagaikan harimau yang takluk dibawah kangkangan burung Merak, Dewi Anarawati.



Benarlah apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Kutu dari Wengker dulu.



RUNTUHNYA MAJAPAHIT









Berdirinya Giri Kedhaton





Blambangan ( Banyuwangi sekarang ), sekitar tahun 1450 Masehi terkena wabah penyakit. Hal ini dikarenakan ketidaksadaran masyarakatnya yang kurang mampu menjaga kebersihan lingkungan. Blambangan diperintah oleh Adipati Menak Sembuyu, didampingi Patih Bajul Sengara.



Wabah penyakit itu masuk juga ke istana Kadipaten. Putri Sang Adipati, Dewi Sekardhadhu, jatuh sakit. Ditengah wabah yang melanda, datanglah seorang ulama dari Samudera Pasai ( Aceh sekarang ), yang masih berkerabat dekat dengan Syeh Ibrahim As-Samarqand, bernama Syeh Maulana Ishaq. Dia ahli pengobatan. Mendengar Sang Adipati mengadakan sayembara, dia serta merta mengikutinya. Dan berkat keahlian pengobatan yang dia dapat dari Champa, sang putri berangsur-angsur sembuh.



Adipati Menak Sembuyu menepati janji. Sesuai isi sayembara, barangsiapa yang mampu menyembuhkan sang putri, jika lelaki akan dinikahkan jika perempuan akan diangkat sebagai saudara, maka, Syeh Maulana Ishaq dinikahkan dengan Dewi Sekardhadhu.



Namun pada perjalanan waktu selanjutnya, ketegangan mulai timbul. Ini disebabkan, Syeh Maulana Ishaq, mengajak Adipati beserta seluruh keluarga untuk memeluk agama Islam.



Ketegangan ini lama-lama berbuntut pengusiran Syeh Maulana Ishaq dari Blambangan. Perceraian terjadi. Dan waktu itu, Dewi Sekardhadhu tengah hamil tua. Keputusan untuk menceraikan Dewi Sekardhadhu dengan Syeh Maulana Ishaq ini diambil oleh Sang Adipati karena melihat stabilitas Kadipaten Blambangan yang semula tenang, lama-lama terpecah menjadi dua kubu. Kubu yang mengidolakan Syeh Maulana Ishaq dan kubu yang tetap menolak infiltrasi asing ke wilayah mereka. Kubu pertama tertarik pada ajaran Islam, sedangkan kubu kedua tetap tidak menyetujui masuknya Islam karena terlalu diskriminatif menurut mereka. Antar kerabat jadi terpecah belah, saling curiga dan tegang. Ini yang tidak mereka sukai.



Sepeninggal Syeh Maulana Ishaq, ternyata masalah belum usai. Kubu yang pro ulama Pasai ini, kini menantikan kelahiran putra sang Syeh yang tengah dikandung Dewi Sekardhadhu. Sosok Syeh Maulana Ishaq, kini menjadi laten bagi stabilitas Blambangan. Mendapati situasi ketegangan belum juga bisa diredakan, maka mau tak mau, Adipati Blambangan, dengan sangat terpaksa, memberikan anak Syeh Maulana Ishaq, cucunya sendiri kepada saudagar muslim dari Gresik. Anak itu terlahir laki-laki.



Dalam cerita rakyat dari sumber Islam, konon dikisahkan anak itu dilarung ketengah laut (meniru cerita Nabi Musa) dengan menggunakan peti. Konon ada saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar. Kapal dagangnya tiba-tiba tidak bisa bergerak karena menabrak peti itu. Dan peti itu akhirnya dibawa naik ke geladak oleh anak buah sang saudagar. Isinya ternyata seorang bayi.



Sesungguhnya itu hanya cerita kiasan. Yang terjadi, saudagar muslim Gresik yang tengah berlayar di Blambangan diperintahkan untuk menghadap ke Kadipaten menjelang mereka hendak balik ke Gresik. Inilah maksudnya kapal tidak bisa bergerak. Para saudagar bertanya-tanya, ada kesalahan apa yang mereka buat sehingga mereka disuruh menghadap ke Kadipaten? Ternyata, di Kadipaten, Adipati Menak Sembuyu, dengan diam-diam telah mengatur pertemuan itu. Sang Adipati memberikan seorang anak bayi, cucunya sendiri, yang lahir dari ayah seorang muslim. Anak itu dititipkan kepada para saudagar anak buah saudagar kaya di Gresik yang bernama Nyi Ageng Pinatih, yang seorang muslim. Adipati Menak Sembuyu tahu telah menitipkan cucunya kepada siapa. Beliau yakin, cucunya akan aman bersama Nyi Ageng Pinatih. Hanya dengan jalan inilah, Blambangan dapat kembali tenang.



Putra Syeh Maulana Ishaq ini, lahir pada tahun 1452 Masehi.



Sekembalinya dari Blambangan, para saudagar ini menghadap kepada majikan mereka, Nyi Ageng Pinatih sembari memberikan oleh-oleh yang sangat berharga. Seorang anak bayi keturunan bangsawan Blambangan. Bahkan dia adalah putra Syeh Maulana Ishaq, sosok yang disegani oleh orang-orang muslim. Nyi Ageng Pinatih tidak berani menolak sebuah anugerah itu. Diambillah bayi itu, dianggap anak sendiri. Karena bayi itu hadir seiring kapal selesai berlayar dari samudera, maka bayi itu dinamakan Jaka Samudera oleh Nyi Ageng Pinatih.



Jaka Samudera dibawa menghadap ke Ampeldhenta menjelang usia tujuh tahun. Dia tinggal disana. Belajar agama dari Sunan Ampel.



Sunan Ampel yang tahu siapa Jaka Samudera yang sebenarnya dari Nyi Ageng Pinatih, maka sosok anak ini sangat dia perhatikan dan diistimewakan. Sunan Ampel menganggapnya anak sendiri.



Sunan Ampel, dari hasil perkawinannya dengan kakak kandung Adipati Tuban Arya Teja, memiliki delapan putra dan putri. Yang penting untuk diketahui adalah Makdum Ibrahim ( Nama Champa-nya : Bong- Ang : kelak terkenal dengan sebutan Sunan Benang. Lama-lama pengucapannya berubah menjadi Sunan Bonang ). Yang kedua Abdul Qasim, terkenal kemudian dengan nama Sunan Derajat. Yang ketiga Maulana Ahmad, yang terkenal dengan nama Sunan Lamongan, yang keempat bernama Siti Murtasi’ah, kelak dijodohkan dengan Jaka Samudera, yang kemudian terkenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton (Sunan Giri), yang kelima putri bernama Siti Asyiqah, kelak dijodohkan dengan Raden Patah ( Tan Eng Hwat ), putra Tan Eng Kian, janda Prabhu Brawijaya yang ada di Palembang itu.



Kekuatan Islam dibangun melalui tali pernikahan. Jaka Samudera, diberi nama lain oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Paku. Kelak dia dikenal dengan nama Sunan Giri Kedhaton. Dia adalah santri senior. Sunan Ampel bahkan telah mencalonkan, mengkaderkan dia sebagai penggantinya kelak bila sudah meninggal.



Sunan Giri sangat radikal dalam pemahaman keagamannya. Setamat berguru dari Ampeldhenta, dia pulang ke Gresik. Di Gresik, dia menyatukan komunitas muslim disana. Dia mendirikan Pesantren. Terkenal dengan nama Pesantren Giri.



Namun dalam perkembangannya, Pesantren Giri memaklumatkan lepas dari kekuasaan Majapahit yang dia pandang Negara kafir. Pesantren Giri berubah menjadi pusat pemerintahan. Maka dikenal dengan nama Giri Kedhaton ( Kerajaan Giri ). Sunan Giri, mengangkat dirinya sebagi khalifah Islam dengan gelar Prabhu Satmata ( Penguasa Bermata Enam. Gelar sindiran kepada Deva Shiva yang cuma bermata tiga ).



Mendengar Gresik melepaskan diri dari pusat kekuasan, Prabhu Brawijaya, sebagai Raja Diraja Nusantara yang sah, segera mengirimkan pasukan tempur untuk menjebol Giri Kedhaton. Darah tertumpah. Darah mengalir. Dan akhirnya, Giri Kedhaton bisa ditaklukkan. Kekhalifahan Islam bertama itu tidak berumur lama. Namun kelak, setelah Majapahit hancur oleh serangan Demak Bintara, Giri Kedhaton eksis lagi mulai tahun 1487 Masehi. ( Sembilan tahun setelah Majapahit hancur pada tahun 1478 Masehi

).



Dari sumber Islam, banyak cerita yang memojokkan pasukan Majapahit. Konon Sunan Giri berhasil mengusir pasukan Majapahit hanya dengan melemparkan sebuah kalam atau penanya. Kalam miliknya ini katanya berubah menjadi lebah-lebah yang menyengat. Sehingga membuat puyeng atau munyeng para prajurid Majapahit. Maka dikatakan, ‘kalam’ yang bisa membuat ‘munyeng’ inilah senjata andalan Sunan Giri. Maka dikenal dengan nama ‘Kalamunyeng’. Sesungguhnya, ini hanya kiasan belaka. Sunan Giri, melalui tulisan-tulisannya yang mengobarkan semangat ke-Islam-an, mampu mengadakan pemberontakan yang sempat ‘memusingkan’ Majapahit.



Namun, karena Sunan Ampel meminta pengampunan kepada Prabhu Brawijaya, Sunan Giri tidak mendapat hukuman. Tapi gerak-geriknya, selalu diawasi oleh Pasukan Telik Sandhibaya ( Intelejen ) Majapahit. Inilah kelemahan Prabhu Brawijaya. Terlalu meremehkan bara api kecil yang sebenarnya bisa membahayakan.



Sabdo Palon dan Naya Genggong sudah mengingatkan agar seorang yang bersalah harus mendapatkan sangsi hukuman. Karena itulah kewajiban yang merupakan sebuah janji seorang Raja. Salah satu kewajiban menjalankan janji suci sebagai AGNI atau API, yang harus mengadili siapa saja yang bersalah. Janji ini adalah satu bagian integral dari tujuh janji yang lain, yaitu ANGKASHA (Ruang), Raja harus memberikan ruang untuk mendengarkan suara rakyatnya, VAYU (Angin), Raja harus mampu mewujudkan pemerataan kesejahteraan kepada rakyatnya bagai angin, AGNI (Api), Raja harus memberikan hukuman yang seadil-adilnya kepada yang bersalah tanpa pandang bulu bagai api yang membakar, TIRTA (Air), Raja harus mampu menumbuhkan kesejahteraan perekonomian bagi rakyatnya bagaikan air yang mampu menumbuhkan biji-bijian, PRTIVI (Tanah), Raja harus mampu memberikan tempat yang aman bagi rakyatnya, menampung semuanya, tanpa ada diskriminasi, bagaikan tanah yang mau menampung semua manusia, SURYA (Matahari), Raja harus mampu memberikan jaminan keamanan kepada seluruh rakyat tanpa pandang bulu seperti Matahari yang memberikan kehidupan kepada mayapada, CHANDRA (Bulan ), Raja harus mampu mengangkat rakyatnya dari keterbelakangan, dari kebodohan, dari kegelapan, bagaikan sang rembulan yang menyinari kegelapan dimalam hari, dan yang terakhir adalah KARTIKA (Bintang), Raja harus mampu memberikan aturan-aturan hukum yang jelas, kepastian hukum bagi rakyat demi kesejahteraan, kemanusiaan, keadilan, bagaikan bintang gemintang yang mampu menunjukkan arah mata angin dengan pasti dikala malam menjalang. Inilah DELAPAN JANJI RAJA yang disebut ASTHAVRATA (Astobroto ; Jawa ). Dan menurut Sabdo Palon dan Naya Genggong, Prabhu Brawijaya telah lalai menjalankan janji sucinya sebagai AGNI.



Mendapati kondisi memanas seperti itu, Sunan Ampel mengeluarkan sebuah fatwa, Haram hukumnya menyerang Majapahit, karena bagaimanapun juga Prabhu Brawijaya adalah Imam yang wajib dipatuhi. Setelah keluar fatwa dari pemimpin Islam se-Jawa, konflik mulai mereda.



Namun bagaimanapun juga, dikalangan orang-orang Islam diam-diam terbagi menjadi dua kubu. Yaitu kubu yang mencita-citakan berdirinya Kekhalifahan Islam Jawa, dan kubu yang tidak menginginkan berdirinya Kekhalifahan itu. Kubu kedua ini berpendapat, dalam naungan Kerajaan Majapahit, yang notabene Shiva Buddha, ummat Islam diberikan kebebasan untuk melaksanakan ibadah agamanya. Bahkan, syari’at Islam pun boleh dijalankan didaerah-daerah tertentu.



Kubu pertama dipelopori oleh Sunan Giri, sedangkan kubu kedua dipelopori oleh Sunan Kalijaga, putra Adipati Tuban Arya Teja, keponakan Sunan Ampel. Kubu Sunan Giri mengklaim, bahwa golongan mereka memeluk Islam secara kaffah, secara bulat-bulat, maka pantas disebut PUTIHAN (Kaum Putih). Dan mereka menyebut kubu yang dipimpin Sunan Kalijaga sebagai ABANGAN (Kaum Merah).

 Bibit perpecahan didalam orang-orang Islam sendiri mulai muncul. Hal ini hanya bagaikan api dalam sekam ketika Sunan Ampel masih hidup. Kelak, ketika Majapahit berhasil dijebol oleh para militant Islam dan ketika Sunan Ampel sudah wafat, kedua kubu ini terlibat pertikaian frontal yang berdarah-darah ( Yang paling parah dan memakan banyak korban, sampai-sampai para investor dari Portugis melarikan diri ke Malaka dan menceritakan di Jawa tengah terjadi situasi chaos dan anarkhis yang mengerikan, adalah pertikaian antara Arya Penangsang, santri Sunan Kudus, penguasa Jipang Panolan dari kubu Putihan dengan Jaka Tingkir atau Mas Karebet, santri dari Sunan Kalijaga, penguasa Pajang dari kubu Abangan. Nanti akan saya ceritakan : Damar Shashangka ).



Berdirinya Ponorogo.



Ki Ageng Kutu, Adipati Wengker, sebenarnya masih keturunan bangsawan Majapahit. Beliau masih keturunan Raden Kudha Merta, ksatria dari Pajajaran yang melarikan diri bersama Raden Cakradhara. Raden Kudha Merta berhasil menikah dengan Shri Gitarja, putri Raden Wijaya, Raja Pertama Majapahit. Sedangkan Raden Cakradhara berhasil menikahi Tribhuwanatunggadewi, kakak kandung Shri Gitarja.



Dari perkawinan antara Raden Cakradhara dengan Tribhuwanatunggadewi inilah lahir Prabhu Hayam Wuruk yang terkenal itu. Sedangkan Raden Kudha Merta, menjadi penguasa daerah Wengker, yang sekarang dikenal dengan nama Ponorogo.



Ki Ageng Kutu adalah keturunan dari Raden Kudha Merta dan Shri Gitarja.



Melihat Majapahit, dibawah pemerintahan Prabhu Brawijaya bagaikan harimau yang kehilangan taringnya, Ki Ageng Kutu, memaklumatkan perang dengan Majapahit.



Prabhu Brawijaya atau Prabhu Kertabhumi menjawab tantangan Ki Ageng Kutu dengan mengirimkan sejumlah pasukan tempur Majapahit dibawah pimpinan Raden Bathara Katong, putra selir beliau.



Peperangan terjadi. Pasukan Majapahit terpukul mundur. Hal ini disebabkan, banyak para prajurid Majapahit yang membelot dari kesatuannya dan memperkuat barisan Wengker. Pasukan yang dipimpin Raden Bathara Katong kocar-kacir.



Raden Bathara Katong yang merasa malu karena telah gagal menjalankan tugas Negara, konon tidak mau pulang ke Majapahit. Dia bertekad, bagaimanapun juga, Wengker harus ditundukkan. Inilah sikap seorang Ksatria sejati.



Ada seorang ulama Islam yang tinggal di Wengker yang mengamati gejolak politik itu. Dia bernama Ki Ageng Mirah. Situasi yang tak menentu seperti itu, dimanfaatkan olehnya. Dia mendengar Raden Bathara Katong tidak pulang ke Majapahit, dia berusaha mencari kebenaran berita itu. Dan usahanya menuai hasil. Dia berhasil menemukan tempat persembunyian Raden Bathara Katong.



Dia menawarkan diri bisa memberikan solusi untuk menundukkan Wengker karena dia sudah lama tinggal disana. Raden Bathara Katong tertarik. Namun diam-diam, Ki Ageng Mirah, menanamkan doktrin ke-Islam-an dibenak Raden Bathara Katong. Jika ini berhasil, setidaknya peng-Islam-an Wengker akan semakin mudah, karena Raden Bathara Katong mempunyai akses langsung dengan militer Majapahit. Jika-pun tidak berhasil membuat Raden Bathara Katong memeluk Islam, setidaknya, kelak dia tidak akan melupakan jasanya telah membantu memberitahukan titik kelemahan Wengker. Dan bila itu terjadi, Ki Ageng Mirah pasti akan menduduki kedudukan yang mempunyai akses luas menyebarkan Islam di Wengker.



Dan ternyata, Raden Bathara Katong tertarik dengan agama baru itu.



Selanjutnya, Ki Ageng Mirah mengatur rencana. Raden Bathara Katong harus pura-pura meminta suaka politik di Wengker. Raden Bathara Katong harus mengatakan untuk memohon perlindungan kepada Ki Ageng Kutu. Dia harus pura-pura membelot dari pihak Majapahit.



Ki Ageng Kutu pasti akan menerima pengabdian Raden Bathara Katong. Ki Ageng Kutu pasti akan senang melihat Raden Bathara Katong telah membelot dan kini berada di fihaknya. Manakala rencana itu sudah berhasil, Raden Bathara Katong harus mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, putri sulung Ki Ageng Kutu sebagai istri. Mengingat status Raden Bathara Katong sebagai seorang putra Raja Majapahit, lamaran itu pasti akan disambut gembira oleh Ki Ageng Kutu..



Dan bila semua rencana berjalan mulus, Raden Bathara Katong harus mampu menebarkan pengaruhnya kepada kerabat Wengker. Dia harus jeli dan teliti mengamati titik kelemahan Wengker. Ni Ken Gendhini, putri Ki Ageng Kutu bisa dimanfaatkan untuk tujuan itu.



Bila semua sudah mulus berjalan, dan bila waktunya sudah tepat, maka Raden Bathara Katong harus sesegera mungkin mengirimkan utusan ke Majapahit untuk meminta pasukan tempur tambahan.



Bila semua berjalan lancar, Wengker pasti jatuh!



Raden Bathara Katong melaksanakan semua rencana yang disusun Ki Ageng Mirah. Dan atas kelihaian Raden Bathara Katong, semua berjalan lancar.



Ki Ageng Kutu, yang merasa masih mempunyai hubungan kekerabatan jauh dengan Raden Bathara Katong, dengan suka rela berkenan memberikan suaka politik kepadanya. Ditambah, ketika Raden Bathara Katong mengutarakan niatnya untuk mempersunting Ni Ken Gendhini, Ki Ageng Kutu serta merta menyetujuinya.



Rencana bergulir. Umpan sudah dimakan. Tinggal menunggu waktu.

Ni Ken Gendhini mempunyai dua orang adik laki-laki, Sura Menggala dan Sura Handaka. ( Sura Menggala = baca Suromenggolo, sampai sekarang menjadi tokoh kebanggaan masyarakat Ponorogo. Dikenal dengan nama Warok Suromenggolo : Damar Shashangka

).



Ni Ken Gendhini dan Sura Menggala berhasil masuk pengaruh Raden Bathara Katong, sedangkan Sura Handaka tidak.



Raden Bathara Katong berhasil mengungkap segala seluk-beluk kelemahan Wengker dari Ni Ken Gendhini. Inilah yang diceritakan secara simbolik dengan dicurinya Keris Pusaka Ki Ageng Kutu, yang bernama Keris Kyai Condhong Rawe oleh Ni Ken Gendhini dan kemudian diserahkan kepada Raden Bathara Katong.



Condhong Rawe hanya metafora. Condhong berarti Melintang (Vertikal) dan Rawe berarti Tegak (Horisontal). Arti sesungguhnya adalah, kekuatan yang tegak dan melintang dari seluruh pasukan Wengker, telah berhasil diketahui secara cermat oleh Raden Bathara Katong atas bantuan Ni Ken Gendhini. Struktur kekuatan militer ini sudah bisa dibaca dan diketahui semuanya.

Dan manakala waktu sudah dirasa tepat, dengan diam-diam, dikirimkannya utusan kepada Ki Ageng Mirah. Utusan ini menyuruh Ki Ageng Mirah, atas nama Raden Bathara Katong, memohon tambahan pasukan tempur ke Majapahit.



Mendapati kabar Raden Bathara Katong masih hidup, Prabhu Brawijaya segera memenuhi permintaan pengiriman pasukan baru.



Majapahit dan Wengker diadu! Majapahit dan Wengker tidak menyadari, ada pihak ketiga bermain disana! Ironis sekali.



Peperangan kembali pecah. Ki Ageng Kutu yang benar-benar merasa kecolongan, dengan marah mengamuk dimedan laga bagai bantheng ketaton, bagai banteng yang terluka. Demi Dharma, dia rela menumpahkan darahnya diatas bumi pertiwi. Walau harus lebur menjadi abu, Ki Ageng Kutu, beserta segenap pasukan Wengker, maju terus pantang mundur!



Namun bagaimanapun, seluruh struktur kekuatan Wengker telah diketahui oleh Raden Bathara Katong. Pasukan Wengker, yang terkenal dengan nama Pasukan Warok itu terdesak hebat! Namun, Ki Ageng Kutu beserta seluruh pasukannya telah siap untuk mati. Siap mati habis-habisan! Siap menumpahkan darahnya diatas hamparan pangkuan ibu pertiwi! Dengan gagh berani, pasukan ksatria ini terus merangsak maju, melawan pasukan Majapahit.



Banyak kepala pasukan Majapahit yang menangis melihat mereka harus bertempur dengan saudara sendiri. Banyak yang meneteskan air mata, melihat mayat-mayat prajurid Wengker bergelimpangan bermandikan darah. Dan pada akhirnya, Wengker berhasil dijebol. Wengker berhasil dihancurkan!



Darah menetes! Darah membasahi ibu pertiwi. Darah harum para ksatria sejati yang benar-benar tulus menegakkan Dharma! Alam telah mencatatnya! Alam telah merekamnya!



Kabar kemenangan itu sampai di Majapahit. Namun, Prabhu Brawijaya berkabung mendengar kegagahan pasukan Wengker. Mendengar kegagahan Ki Ageng Kutu. Seluruh Pejabat Majapahit berkabung. Sabdo Palon dan Naya Genggong berkabung. Kabar kemenangan itu membuat Majapahit bersedih, bukannya bersuka cita.



Para pejabat Majapahit menagis sedih melihat sesama saudara harus saling menumpahkan darah karena campur tangan pihak ketiga, karena disebabkan adanya pihak ketiga. Ki Ageng Kutu adalah seorang Ksatria yang gagah berani. Ki Ageng Kutu adalah salah satu sendi kekuatan militer Majapahit. Kini, Ki Ageng Kutu harus gugur ditangan pasukan Majapahit sendiri. Betapa tidak memilukan!



Kadipaten Wengker kini dikuasai oleh Raden Bathara Katong. Surat pengukuhan telah diterima dari pusat. Dan Wengker lantas dirubah namanya menjadi Kadipaten Ponorogo. Wengker yang Shiva Buddha, kini telah berhasil menjadi Kadipaten Islam.









RUNTUHNYA MAJAPAHIT









Kubu Abangan



Seorang ulama berdarah Majapahit, yang lahir di Kadipaten Tuban, yang sangat dikenal dikalangan masyarakat Jawa yaitu Sunan Kalijaga, mati-matian membendung gerakan militansi Islam. Beliau seringkali mengingatkan, bahwasanya membangun akhlaq lebih penting daripada mendirikan sebuah Negara Islam.



Sunan Kalijaga adalah putra Adipati Tuban, Arya Teja. Adipati Arya Teja adalah keturunan Senopati Agung Majapahit masa lampau, Adipati Arya Ranggalawe yang berhasil memimpin pasukan Majapahit mengalahkan pasukan Tiongkok Mongolia yang hendak menguasai Jawa ( Adipati Arya Ranggalawe adalah salah satu tangan kanan Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit.)



Adipati Arya Teja berhasil di Islamkan oleh Sunan Ampel. Bahkan kakak kandung beliau dinikahi Sunan Ampel. Dari pernikahan Sunan Ampel dengan kakak kandung Adipati Arya Teja, lahirlah Sunan Bonang, Sunan Derajat, Sunan Lamongan, dan lima putri yang lain ( seperti yang telah saya tulis pada bagian pertama : Damar Shashangka

).



Para pengikut Sunan Giri yang tidak sepaham dengan para pengikut Sunan Kalijaga, sering terlibat konflik-konflik terselubung. Di pihak Sunan Giri, banyak ulama yang bergabung, seperti Sunan Derajat, Sunan Lamongan, Sunan Majagung ( sekarang dikenal dengan Sunan Bejagung), Sunan Ngundung dan putranya Sunan Kudus, dll.



Dipihak Sunan Kalijaga, ada Sunan Murya (sekarang dikenal dengan nama Sunan Muria), Syeh Jangkung, Syeh Siti Jenar, dll.



Khusus mengenai Syeh Siti Jenar atau juga disebut Sunan Kajenar, beliau adalah ulama murni yang menekuni spiritualitas. Beliau sangat-sangat tidak menyetujui gerakan kaum Putih yang merencanakan berdirinya Negara Islam Jawa.



Pertikaian ini mencapai puncaknya ketika Syeh Siti Jenar, menyatakan keluar dari Dewan Wali Sangha. Syeh Siti Jenar menyatakan terpisah dari Majelis Ulama Jawa itu. Beliau tidak mengakui lagi Sunan Ampel sebagai seorang Mufti.



Didaerah Cirebon, Syeh Siti Jenar banyak memiliki pengikut.



Manakala menjelang awal tahun 1478, Sunan Ampel wafat dan kedudukan Mufti digantikan oleh Sunan Giri, keberadaan Syeh Siti Jenar dianggap sangat membahayakan Islam.



Semua dinamika ini, terus diamati oleh intelejen Majapahit. Gerakan-gerakan militansi Islam mulai merebak dipesisir utara Jawa. Mulai Gresik, Tuban, Demak, Cirebon dan Banten. Para pejabat daerah telah mengirimkan laporan kepada Prabhu Brawijaya. Tapi Prabhu Brawijaya tetap yakin, semua masih dibawah kontrol beliau.





Keturunan di Pengging



Pernikahan Dewi Anarawati dengan Prabhu Brawijaya semakin dikukuhkan dengan diangkatnya putri Champa ini sebagai permaisuri. Keputusan yang sangat luar biasa ini menuai protes. Kesuksesan besar bagi Dewi Anarawati membuat para pejabat Majapahit resah. Bisa dilihat jelas disini, bila kelak Prabhu Brawijaya wafat, maka yang akan menggantikannya sudah pasti putra dari seorang permaisuri. Dan sang permaisuri beragama Islam. Dapat dipastikan, Majapahit akan berubah menjadi Negara Islam.



Dari luar Istana, Sunan Giri menyusun strategi memperkuat barisan militansi Islam. Dari dalam Istana, Dewi Anarawati mempersiapkan rencana yang brilian. Jika Sunan Giri gagal merebut Majapahit dengan cara pemberontakan, dari dalam istana, Majapahit sudah pasti bisa dikuasai oleh Dewi Anarawati. Bila rencana pertama gagal, rencana kedua masih bisa berjalan.



Tapi ternyata, apa yang diharapkan Dewi Anarawati menuai hambatan. Dari hasil perkawinannya dengan Prabhu Brawijaya, lahirlah tiga orang anak. Yang sulung seorang putri, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa Kadipaten Pengging ( sekitar daerah Solo, Jawa Tengah sekarang), putra kedua bernama Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura, dan yang ketiga Raden Gugur, masih kecil dan tinggal di Istana. (Kelak, Raden Gugur inilah yang terkenal dengan julukan Sunan Lawu, dipercaya sebagai penguasa mistik Gunung Lawu, yang terletak didaerah Magetan, hingga sekarang : Damar Shashangka.

)



Hambatan yang dituai Dewi Anarawati adalah, putri sulungnya tidak tertarik memeluk Islam, begitu juga dengan Raden Gugur. Hanya Raden Lembu Peteng yang mau memeluk Islam.



Dari pernikahan putri sulung Dewi Anarawati dengan Adipati Handayaningrat IV, lahirlah dua orang putra, Kebo Kanigara dan Kebo Kenanga. Keduanya juga tidak tertarik memeluk Islam. Si sulung bahkan pergi meninggalkan kemewahan Kadipaten dan menjadi seorang pertapa di Gunung Merapi ( didaerah Jogjakarta sekarang). Sampai sekarang, petilasan bekas pertapaan beliau masih ada dan berubah menjadi sebuah makam yang seringkali diziarahi.

Otomatis, yang kelak menggantikan Adipati Handayaningrat IV sebagai Adipati Pengging, bahkan juga jika Prabhu Brawijaya mangkat, tak lain adalah adik Kebo Kanigara, yaitu Kebo Kenanga. Kelak, dia akan mendapat limpahan tahta Pengging maupun Majapahit! Inilah pewaris sah tahta Majapahit.





Kebo Kenanga lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Pengging.





Ki Ageng Pengging sangat akrab dengan Syeh Siti Jenar. Keduanya, yang satu beragama Shiva Buddha dan yang satu beragama Islam, sama-sama tertarik mendalami spiritual murni. Mereka berdua seringkali berdiskusi tentang ‘Kebenaran Sejati’. Dan hasilnya, tidak ada perbedaan diantara Shiva Buddha dan Islam.



Namun kedekatan mereka ini disalah artikan oleh ulama-ulama radikal yang masih melihat kulit, masih melihat perbedaan. Syeh Siti Jenar dituduh mendekati Ki Ageng Pengging untuk mencari dukungan kekuatan. Dan konyolnya, Ki Ageng Pengging dikatakan sebagai murid Syeh Siti Jenar yang hendak melakukan pemberontakan ke Demak Bintara. Padahal Ki Ageng Pengging tidak tertarik dengan tahta. Walaupun sesungguhnya, memang benar bahwa beliau lah yang lebih berhak menjadi Raja Majapahit kelak ketika Majapahit berhasil dihancurkan oleh Raden Patah Dan juga, Ki Ageng Pengging bukanlah seorang muslim. Beliau dengan Syeh Siti Jenar hanyalah seorang ‘sahabat spiritual’. Hubungan seperti ini, tidak akan bisa dimengerti oleh mereka yang berpandangan dangkal. Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar adalah seorang spiritualis sejati. Kelak, setalah Majapahit berhasil dihancurkan para militant Islam, dua orang sahabat ini menjadi target utama untuk dimusnahkan. Baik Syeh Siti Jenar maupun Ki Ageng Pengging gugur karena korban kepicikan.



Dan, nama Ki Ageng Pengging dan Syeh Siti Jenar dibuat hitam. Sampai sekarang, nama keduanya masih terus dihakimi sebagai dua orang yang sesat dikalangan Islam. Namun bagaimanapun juga, keharuman nama keduanya tetap terjaga dikisi-kisi hati tersembunyi masyarakat Jawa, walaupun tidak ada yang berani menyatakan kekagumannya secara terang-terangan. Ironis.



Dari Ki Ageng Pengging inilah, lahir seorang tokoh terkenal di Jawa. Yaitu Mas Karebat atau Jaka Tngkir. Dan kelak menjadi Sultan Pajang setelah Demak hancur dengan gelar Sultan Adiwijaya.



Keturunan di Tarub



Dikisahkan secara vulgar, suatu ketika Prabhu Brawijaya terserang penyakit Rajasinga atau syphilis. Para Tabib Istana sudah bekerja keras berusaha menyembuhkan beliau, tapi penyakit beliau tetap membandel.



Atas inisiatif beliau sendiri, setiap malam beliau tidur diarel Pura Keraton. Memohon kepada Mahadewa agar diberi kesembuhan. Dan konon, setelah beberapa malam beliau memohon, suatu malam, beliau mendapat petunjuk sangat jelas.



Dalam keheningan meditasinya, lamat-lamat beliau ‘mendengar’ suara.



“Jika engkau ingin sembuh, nikahilah seorang pelayan wanita berdarah Wandhan. Dan, inilah kali terakhir engkau boleh menikah lagi.”



Mendapat ‘wisik’ yang sangat jelas seperti itu, Prabhu Brawijaya termangu-mangu. Dan beliau teringat, di Istana ada beberapa pelayan Istana yang berasal dari daerah Wandhan ( Bandha Niera, didaerah Sulawesi

).



Keesokan harinya, beliau memanggil para pelayan istana dari daerah Wandhan. Beliau memilih yang paling cantik. Ada seorang pelayan dari Wandhan, bernama Dewi Bondrit Cemara, sangat cantik. Diambillah dia sebagai istri selir. Dikemudian hari, Dewi Bondrit Cemara dikenal dengan nama Dewi Wandhan Kuning.



Begitu menikahi Dewi Wandhan Kuning, dan setelah melakukan senggama beberapa kali, penyakit Sang Prabhu berangsur-angsur sembuh.



Namun Sang Prabhu merasa perkawinannya dengan Dewi Wandhan Kuning harus dirahasiakan. Karena apabila kabar ini terdengar sampai ke daerah Wandhan, pasti para bangsawan Sulawesi merasa terhina oleh sebab Sang Prabhu bukannya mengambil salah seorang putri bangsawan Wandhan, tapi malah mengambil seorang pelayan.



Dewi Wandhan Kuning mengandung, hingga akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki, putra ini lantas dititipkan kepada Kepala Urusan Sawah Istana, Ki Juru Tani. ( Waktu itu, Istana memiliki areal pesawahan khusus yang hasilnya untuk dikonsumsi oleh seluruh kerabat Istana.)



Anak ini diberi nama Raden Bondhan Kejawen ( Bondhan perubahan dari kata Wandhan. Kejawen berarti yang telah berdarah Jawa.

)



Raden Bondhan Kejawen dibesarkan oleh Ki Juru Tani. Dan manakala sudah berangsur dewasa, atas perintah Sang Prabhu, Raden Bondhan Kejawen dikirimkan kepada Ki Ageng Tarub, seorang Pandhita Shiva yang memiliki Ashrama di daerah Tarub ( sekitar Purwodadi, Jawa Tengah sekarang.)



Jika anda pernah mendengar legenda Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan, maka inilah dia. Jaka Tarub yang konon mencuri selendang bidadari Dewi Nawangwulan dan lantas ditinggal oleh sang bidadari setelah sekian lama menjadi istri beliau karena ketahuan bahwa yang menyembunyikan selendang itu adalah Jaka Tarub sendiri. ( Saya tidak akan membedah simbolisasi legenda ini disini, karena tidak sesuai dengan topic yang saya bahas : Damar Shashangka).

Jaka Tarub inilah yang lantas dikenal dengan nama Ki Ageng Tarub. Menginjak dewasa, Raden Bondhan Kejawen dinikahkan dengan Dewi Nawangsih, putri tunggal Ki Ageng Tarub. Dan kelak Raden Bondhan Kejawen bergelar Ki Ageng Tarub II.



Dari hasil perkawinan Raden Bondhan Kejawen dengan Dewi Nawangsih, lahirlah Raden Getas Pandhawa. Dari Raden Getas Pandhawa, lahirlah Ki Ageng Sela yang hidup sejaman dengan Sultan Trenggana, Sultan Demak ketiga. Ki Ageng Sela inilah tokoh yang konon bisa memegang petir sehingga menggegerkan seluruh Kesultanan Demak ( simbolisasi lagi, kapan-kapan saya ulas : Damar Shashangka

).



Sampai sekarang nama Ki Ageng Sela terkenal di tengah masyarakat Jawa. Ki Ageng Sela inilah keturunan Tarub yang mulai beralih memeluk Islam. Beliau berguru kepada Sunan Kalijaga. Perpindahan agama ini berjalan dengan damai. Nama Islam beliau adalah Ki Ageng Abdul Rahman.



Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Mangenis Sela. Dari Ki Ageng Mangenis Sela, lahirlah Ki Ageng Pamanahan. Dan dari Ki Ageng Pamanahan lahirlah Panembahan Senopati Ing Ngalaga, tokoh terkenal pendiri dinasti Mataram Islam dikemudian hari. ( Panembahan Senopati Ing Ngalaga Mataram inilah leluhur Para Sultan Kasultanan Jogjakarta, Para Sunan Kasunanan Surakarta (Solo), Pakualaman dan Mangkunegaran sekarang.

)



Peng-Islam-an keturunan Raden Bondhan Kejawen, berlangsung dengan damai.



Raden Patah.



Ingat putri China Tan Eng Kian yang dinikahi Adipati Arya Damar di Palembang?



Dari hasil pernikahan dengan Prabhu Brawijaya, Tan Eng Kian memiliki seorang putra bernama Tan Eng Hwat. Dikenal juga dengan nama muslim Raden Hassan. Dari perkawinan Tan Eng Kian dengan Arya Damar sendiri, lahirlah seorang putra bernama Kin Shan, dikenal dengan nama muslim Raden Hussein.



Sejak kecil, Raden Hassan dan Raden Hussein dididik secara Islam oleh ayahnya Arya Damar. Menjelang dewasa, Raden Hassan memohon ijin kepada ibunya untuk pergi ke Jawa. Dia berkeinginan untuk bertemu dengan ayah kandungnya, Prabhu Brawijaya.



Tan Eng Kian tidak bisa menghalangi keinginan putranya. Dari Palembang, Raden Hassan bertolak ke Jawa. Sampailah ia di pelabuhan Gresik yang ramai. Melihat keadaan Gresik yang hiruk-pikuk, Raden Hassan kagum. Dia bisa membayangkan bagaimana besarnya kekuasaan Majapahit. Menilik di Gresik banyak orang muslim, Raden Hassan tertarik.



Dan dengar-dengar, ada Pesantren besar disana. Pesantren Giri. Raden Hassan memutuskan untuk bertandang ke Giri. Bertemulah dia dengan Sunan Giri. Sunan Giri senang melihat kedatangan Raden Hassan setelah mengetahui dia adalah putra Prabhu Brawijaya yang lahir di Palembang. Sunan Giri seketika melihat sebuah peluang besar.



Di Giri, Raden Hassan memperdalam ke-Islaman-nya. Disana, Raden Hassan mulai tertarik dengan ide-ide ke-Khalifah-an Islam. Dan militansi Raden Hassan mulai terbentuk.Ada kesepakatan pemahaman antara Raden Hassan dengan Sunan Giri.



Dari Sunan Giri, Raden Hassan memperoleh ide untuk meminta daerah otonomi khusus kepada ayahnya, Prabhu Brawijaya. Bila disetujui, hendaknya Raden Patah memilih daerah di pesisir Jawa bagian tengah. Jika itu terwujud, keberadaan daerah otonomi didaerah pesisir utara Jawa bagian tengah, akan menjadi penghubung pergerakan militant Islam dari Jawa Timur dan Jawa Barat di Cirebon.



Cirebon, kini tumbuh pesat sebagai pusat kegiatan Islam dibawah pimpinan Pangeran Cakrabhuwana, putra kandung Prabhu Siliwangi, Raja Pajajaran. (Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah belum datang dari Mesir ke Cirebon. Dia datang pada tahun 1475 Masehi. Pada bagian selanjutnya akan saya ceritakan : Damar Shashangka.

)



Setelah dirasa cukup, Raden Hassan melanjutkan perjalanan ke Pesantren Ampel dengan diiringi beberapa santri Sunan Giri. Disana dia disambut suka cita oleh Sunan Ampel. Disana, dia diberi nama baru oleh Sunan Ampel, yaitu Raden Abdul Fattah yang lantas dikenal masyarakat Jawa dengan nama Raden Patah.



Selesai bertandang di Ampel, Raden Hassan yang kini dikenal dengan nama Raden Patah melanjutkan perjalanan ke ibu kota Negara Majapahit. Dia yang semula hanya berniat untuk bertemu dengan ayahnya, sekarang dia telah membawa misi tertentu.



Betapa suka cita Prabhu Brawijaya mendapati putra kandungnya telah tumbuh dewasa. Dan manakala, Raden Patah memohon anugerah untuk diberikan daerah otonom, Prabhu Brawijaya mengabulkannya. Raden Patah meminta daerah pesisir utara Jawa bagian tengah. Dia memilih daerah yang dikenal dengan nama Glagah Wangi.



Prabhu Brawijaya menyetujui permintaan Raden Patah. Dia mendanai segala keperluan untuk membangun daerah baru. Raden Patah, dengan disokong tenaga dan dana dari Majapahit, berangkat ke Jawa Tengah. Di daerah pesisir utara, didaerah yang dipenuhi tumbuhan pohon Glagah, dia membentuk pusat pemerintahan Kadipaten baru. Begitu pusat Kadipaten dibentuk, dinamailah tempat itu Demak Bintara. Dan Raden Patah, dikukuhkan oleh Sang Prabhu Brawijaya sebagai penguasa wilayah otonom Islam baru disana.



Demak Bintara berkembang pesat. Selain menjadi pusat kegiatan politik, Demak Bintara juga menjadi pusat kegiatan keagamaan. Demak Bintara menjadi jembatan penghubung antara barat dan timur pesisir utara Jawa.



Dipesisir utara Jawa, gerakan-gerakan militant Islam mulai menguat. Sayang, fenomena itu tetap dipandang sepele oleh Prabhu Brawijaya. Beliau tetap yakin, dominasi Majapahit masih mampu mengontrol semuanya. Padahal para pejabat daerah yang dekat dengan pesisir utara sudah melaporkan adanya kegiatan-kegiatan yang mencurigakan. Pasukan Telik Sandhibaya telah memberikan laporan serius tentang adanya kegiatan yang patut dicurigai akan mengancam kedaulatan Majapahit.



Tak lama berselang, Raden Hussein, putra Tan Eng Kian dengan Arya Damar, menyusul ke Majapahit. Dia mengabdikan diri sebagai tentara di Majapahit. Raden Hussein tidak terpengaruh ide-ide pendirian ke-Khalifah-an Islam. Dia diangkat sebagai Adipati didaerah Terung ( Sidoarjo, sekarang ) dengan gelar, Adipati Pecattandha.



Kebaikan Prabhu Brawijaya sangat besar sebenarnya. Tapi kebaikan yang tidak disertai kebijaksanaan bukanlah kebaikan. Dan hal ini pasti akan menuai masalah dikemudian hari. Bibit-bibit itu mulai muncul, tinggal menunggu waktu untuk pecah kepermukaan.



Dan Prabhu Brawijaya tidak akan pernah menyangkanya.

















RUNTUHNYA MAJAPAHIT









Mendekati detik-detik pemberontakan

Demak Bintara berkembang pesat. Tempat ini dirasa strategis untuk pengembangan militansi Islam karena letaknya agak jauh dari pusat kekuasaan. Di Demak Bintara, para ulama-ulama Putihan sering mengadakan pertemuan. Jadilah Demak Bintara dikenal sebagai Kota Seribu Wali.



Ditambah pada tahun 1475 Masehi, seorang ulama berdarah Mesir-Sunda datang dari Mesir. Dia adalah Syarif Hidayatullah. Dia datang bersama ibunya Syarifah Muda’im. Syarifah Muda’im adalah putri Pajajaran. Putri dari Prabhu Silihwangi penguasa Kerajaan Pejajaran. ( Hanya Kerajaan ini yang tidak masuk wilayah Majapahit. Walau kecil, Pajajaran terkenal kuat. Anda bisa membayangkan adanya Timor Leste sekarang. Seperti itulah keadaan Majapahit dan Pajajaran. : Damar Shashangka).

Senin, 09 Desember 2013

SEJARAH KABUPATEN PATI


Sejarah Kabupaten Pati, Jawa Tengah - Kabupaten Pati, merupakan sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah kota Pati. Kabupaten ini berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Rembang di timur, Kabupaten Blora dan Kabupaten Grobogan di selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara di barat.
Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara".

Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "keris rambut pinutung dan kuluk kanigara" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.

Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten Carangsoka.
Kota Pati terletak di daerah Pantura (Pantai Utara) dekat dengan laut utara pulau jawa. kota ini terdiri lebih dari 20 kecamatan, diantaranya adalah kecamatan Gabus, Tambakromo, Winong, dan lainnya.
 
Kota Pati termasuk dalam eks karisidenan yang meliputi wilayah kudus, jepara, blora. kota ini masih berada di wilayah propinsi Jawa Tengah. kegiatan yang di lakukan masyarakat kota pati beragam, ada yang berprofesi sebagai petani, nelayan, pns, buruh, ada juga masyarakat yang berprofesi sebagai paranormal, bahhkan untuk profesi tersebut sudah di akui oleh masyarakat indonesia, ataupun masyarakat dunia khususnya di asia.

Situs-situs peninggalan masyarakat terdahulu masih menyimpan misteri untuk dapat di ungkapkan. hal ini terjadi karena dulunya wilayah pati merupakan daerah kerajan majapahit dan mataram.

Sejarah kota Pati
Kota Pati pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan sendiri, yang pada waktu ini menjadi daerah kekuasaan majapahit, dan kemudian di ambil alih oleh mataram.

Di kota Pati terdapat situs-situs peninggalan zaman kerajaan, diantaranya :
Pintu Gerbang Majapahit
konon gerbang ini terjatuh ketika akan di bawa ke wilayah jawa timur yang pada waktu itu menjadi pusat wilayah kerajaan majapahit.

Genuk Kemiri
Lokasi yang ditengarai bekas pusat pemerintahan Kadipaten Pati, sebelum dipindahkan ke Kampung Kaborongan, Kelurahan Pati Lor hingga sekarang, semula berupa tanah kosong yang banyak ditumbuhi pohon besar dan rumpun bambu. Bagian depan masuk lokasi tersebut terdapat pohon beringin tua.
Kawasan itu mulai ditata dan diperindah, ketika masa Pemkab Pati dijabat Bupati Sunardji. Selain dipasang tembok pembatas keliling, bekas bangunan pendapa kabupaten juga dipindahkan ke lokasi tersebut, sehingga pada setiap peringatan HUT Pati yang tiap tahun jatuh pada 7 Agustus, pendapa
berfungsi sebagai tempat malam tirakatan.

Di belakang sisi utara pendapa terdapat cungkup mirip sebuah makam. Di dalam bangunan itulah terdapat sebuah genuk (tempayan) yang dikenal sebagai Genuk Kemiri yang kondisinya sudah tidak utuh lagi karena pecah.

Di lokasi genuk itu, biasanya dijadikan tempat orang untuk ngalap berkah. Pada sisi belakang pendapa terdapat makam tua yang diyakini warga sebagai makam sesepuh Kemiri. Sejak dipindahkan bekas bangunan pendapa kabupaten, tempat tersebut bila malam tidak gulita karena diberi penerangan listrik. Selain itu, Balai Desa Serirejo juga sudah dipindahkan ke lokasi tersebut.

Pariwisata
Pariwisata di kota pati kebanyakan berupa keindahan yang di buat oleh alam (dalam hal ini berupa goa) dan makam-makam yang di anggap keramat oleh masyarakat sekitar. kekeramatan yang di padukan dengan unsur keindahan terktur dapat menarik minat wisatawan dari daerah pati sendiri atau bahkan dari luar kabupaten pati.

Obyek wisata yang sering di kunjungi oleh wisatawan ada tiga tempat,
diantaranya : Goa pancur yang berada di wilayah kecamatan Kayen, Goa Cerawang yang berada di desa Todanan wilayah kecamatan Puncak Wangi, dan Goa Lowo yang berada di wilayah kecamatan TambakRomo.

Dahulu Goa-goa tersebut masih rapi dan di kunjungi banyak wisatawan sekarang jumlah wisatawan yang datang kesana hanya beberapa, dan kebanyakan yang datang ke tempat tersebut mempunyai maksud dan tujuan yang lain dari pada hanya menikmati pemandangan alam dan bentuk-bentuk staklakmit saja. Goa-goa tersebut sekarang menjadi ajang untuk mendapatkan pencerahan (masyarakat sekitar menyebutnya “wangsit”). Tempat wisata yang sekarang masih menarik minat wisatawan yaitu di pulau kecil di daerah kecamatan juwana, nama pulau tersebut adalah “Pulau Seperempat”. Pulau itu dinamakan tersebut karena bentuknya yang unik hanya berbentuk seperempat saja. Di pulau seperempat setiap tahunnya di adakan upacara ucapan syukur kepada Yang Berkuasa atas alam, upacara itu oleh masyarakat sekitar dinamakan “Sedekah Bumi”.
Sejarah Atau Legenda Berdirinya Kabupaten Pati
Kevakuman Pemerintahan di Pulau Jawa
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa vakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai runtuh, Kerajaan Singasari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum berdiri.

Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian Timur muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah kekuasaannya disebut kadipaten.

Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu. 1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama Yudhapati, wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan. Mempunyai putra bernama Raden Jasari. 2. Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama: Puspa Andungjaya, wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri bernama Rara Rayungwulan
Kadipaten Carangsoka dan Paranggaruda Berbesanan
Kedua Kadipaten tersebut hidup rukun dan damai, saling menghormati dan saling menghargai untuk melestarikan kerukunan dan memperkuat tali persaudaraan, Kedua adipati tersebut bersepakat untuk mengawinkan putra dan putrinya itu. Utusan Adipati Paranggaruda untuk meminang Rara Rayungwulan telah diterima, namun calon mempelai putri minta bebana agar pada saat pahargyan boja wiwaha daup (resepsi) dimeriahkan dengan pagelaran wayang dengan dalang kondang yang bernama "Sapanyana".

Untuk memenuhi bebana itu, Adipati Paranggaruda menugaskan penggede kemaguhan bernama Yuyurumpung agul-agul Paranggaruda. Sebelum melaksanakan tugasnya, lebih dulu Yuyurumpung berniat melumpuhkan kewibawaan Kadipaten Carangsoka dengan cara menguasai dua pusaka milik Sukmayana di Majasemi. Dengan bantuan uSondong Majerukn kedua pusaka itu dapat dicurinya namun sebelum dua pusaka itu diserahkan kepada Yuyurumpung, dapat direbut kembali oleh Sondong Makerti dari Wedari. Bahkan Sondong Majeruk tewas dalam perkelahian dengan Sondong Makerti. Dan Pusaka itu diserahkan kembali kepada Raden Sukmayana. Usaha Yuyurumpung untuk menguasai dan memiliki dua pusaka itu gagal.

Walaupun demikian Yuyurumpung tetap melanjutkan tugasnya untuk mencari Dalang Sapanyana agar perkawinan putra Adipati Paranggaruda tidak mangalami kegagalan (berhasil dengan baik).

Pada Malam pahargyan bojana wiwaha (resepsi) perkawinaan dapat diselenggarakan di Kadipaten Carangsoka dengan Pagelaran Wayang Kulit oleh Ki Dalang Sapanyana. Di luar dugaan pahargyan baru saja dimulai, tiba-tiba mempelai putri meninggalkan kursi pelaminan menuju ke panggung dan seterusnya melarikan diri bersama Dalang Sapanyana. Pahargyan perkawinan antara " Raden Jasari " dan " Rara Rayungwulan " gagal total.

Adipati Yudhapati merasa dipermalukan, emosi tak dapat dikendalikan lagi. Sekaligus menyatakan permusuhan terhadap Adipati Carangsoka. Dan peperangan tidak dapat dielakkan. Raden Sukmayana dari Kadipaten Carangsoka mempimpin prajurit Carangsoka, mengalami luka parah dan kemudian wafat. Raden Kembangjaya (adik kandung Raden Sukmayana) meneruskan peperangan. Dengan dibantu oleh Dalang Sapanyana, dan yang menggunakan kedua pusaka itu dapat menghancurkan prajurit Paranggaruda. Adipati Paranggaruda, Yudhapati dan putera lelakinya gugur dalam palagan membela kehormatan dan gengsinya.

Oleh Adipati Carangsoka, karena jasanya Raden Kembangjaya dikawinkan dengan Rara Rayungwulan kemudian diangkat menjadi pengganti Carangsoka. Sedang dalang Sapanyana diangkat menjadi patihnya dengan nama " Singasari ".
Kadipaten Pesantenan
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian selatan, Adipati Raden Kembangjaya memindahkan pusat pemerintahannya dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama " Kadipaten Pesantenan dengan gelar " Adipati Jayakusuma di Pesantenan.

Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu " Raden Tambra ". Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati Pesantenan, dengan gelar " Adipati Tambranegara ". Dalam menjalankan tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana. Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.
Kabupaten Pati
Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan menjadi Kadipaten Pati.

Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah Kabupaten Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna. Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : ..... Raja Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda Gopala pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan berani bernama Dyah Malayuda dengan gelar "Rakai", Pada saat pengumuman itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di dalamnya.
Pati Bagian dari Majapahit
Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.

Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ..... Tan alami pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta, putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama, Raden Tambranegara sumewa maring Keraton Majalengka.

Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majalengka, yaitu Majapahit.

Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati turut serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13 Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu pada bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli, 7 Agustus dan 14 Agustus 1323.
Hari Jadi Pati
Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat Kabupaten Pati, para guru sejarah SMA se Kabupaten Pati, Konsultan, Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan menjadi Kabupaten Pati.

Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei 1994, sehingga menjadi momentum Hari Jadi Kabupaten Pati dengan surya sengkala " KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI " yang bermakna " Dengan bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan kesejahteraan lahiriah dan batiniah ". Untuk itu maka setiap tanggal 7 Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai "Hari Jadi Kabupaten Pati".

Julukan Lain Dari Kabupaten Pati
Pati, Kota Seribu Paranormal - Tidak berlebihan jika Kabupaten Pati, Jawa Tengah, berjulukan kota seribu paranormal. Di Pati, sangat mudah menemukan paranormal, baik yang sudah tersohor seperti Boss Eddy atau Mbah Roso, maupun paranormal kelas kampung yang tersebar di hampir seluruh perkampungan.

Di antara paranormal yang kondang, ada nama-nama seperti Boss Eddy, Mbak Har, Mbah Roso, Jeng Asih, Sukma Jati, Anisa Dewi, David Gombak, dan Dewi Sedap Malam. Klien mereka beragam, mulai dari kalangan selebritas, pejabat, politikus, tentara, polisi, pengusaha, pedagang, sampai mahasiswa.

Menurut Boss Eddy, yang juga Ketua Paguyuban Paranormal Indonesia, menjamurnya paranormal di Pati tak lepas dari sejarah panjang supranatural di daerah ini. Sejak zaman Mataram Hindu, masyarakat Pati dikenal sebagai masyarakat yang gandrung ilmu kanuragan (kesaktian). Saat Kerajaan Mataram Hindu bermetamorfosis menjadi Mataram Islam dan mendirikan Kerajaan Demak Bintoro, konon masyarakat Pati, yang hanya berjarak sekitar 40 kilometer dari Kota Demak, ikut berjuang.

Secara geografis, Pati juga dikelilingi oleh makam-makam tokoh spiritual yang sangat kuat. Di sebelah barat ada Sunan Kalijaga di Demak, serta Sunan Kudus dan Sunan Muria di Kudus. Di sebelah selatan ada Syekh Jangkung dan Saridin yang kondang dengan kesaktiannya. Dari sisi utara ada makam KH Mutamakin. Di pegunungan Patiayam juga pernah berdiri padepokan yang dipimpin Senggoropati, paranormal kondang yang menjadi guru hampir semua paranormal saat ini.

"Keberadaan makam-makam tersebut ikut mempengaruhi tradisi spiritual masyarakat Pati," ujar Boss Eddy ketika ditemui Tempo, Senin malam, 1 April 2013. Keberadaan makam-makam tersebut, lanjutnya, ikut memperkuat aura spiritual masyarakat Pati.

Hal senada diakui Jeng Asih. Menurut perempuan bernama asli Asih Marlina ini, keberadaan setiap tokoh spiritual di Pati menjadi sumber kekuatan para paranormal yang ada sekarang. Sumber kekuatan itu sesuai dengan jasa layanan yang diberikan para paranormal yang meliputi pengasihan, penglarisan, kanuragan, dan kewibawaan.

Dia menguraikan, pengasihan tak lepas dari keberadaan Ratu Kalinyamat dan Mbah Ratu. Sumber kekuatan kewibawaan adalah Makam Eyang Pragolo dan Eyang Mbuluh Cengol Sewu. Sedangkan tokoh Saridin dan Tondo Negoro sebagai sumber kekuatan kanuragan. "Masing-masing tokoh tersebut masih punya pengikut sampai sekarang," kata Jeng Asih.

KETOPRAK MASIH AXIS DI PATI


Keterdesakan ketoprak dari ranah hiburan sehari-hari telah bergema di hampir seluruh wilayah kultural kebudayaan Jawa. Ada yang menyebutnya sebagai masa senja kala dalam perjalanan kehidupannya. Dan lebih ekstrem lagi, ada yang menilainya di ambang kepunahan. Namun, kondisi anomali justru terjadi di Pati. Konon, hingga kini masyarakat di sana masih menunjukkan sikap apresiasi yang tak mati-mati. Wartawan Suara Merdeka Jokomono melaporkan dalam beberapa tulisan berikut.

KELANGSUNGAN hidup ketoprak di Pati menunjukkan raut dinamika nan energik. Di wilayah Bumi Mina Tani itu, menurut data Dinas Pendidikan setempat pada 2007, sedikitnya terdapat 35 grup. Besaran angka ini sangat mungkin masih dapat membengkak di lapangan.
Dari jumlah tersebut, 10 di antaranya berada dalam kriteria laris tanggapan. Yaitu Siswo Budoyo (Desa Growong Lor, Kecamatan Juwana), Cahyo Mudho (Bakaran Kulon, Juwana), Langen Marsudi Rini (Growong Kidul, Juwana), Wahyu Budoyo (Ngagel, Dukuhsekti).

Selanjutnya, Bangun Budoyo (Desa Karang, Kecamatan Juwana), Ronggo Budoyo (Rangga, Jaken), Dwijo Gumelar (Sidomukti, Jaken), Kridho Carito (Sumberejo, Jaken), Konyik Pati (Tlogowungu), dan Manggala Budaya (Pelemgede, Pucakwangi).

Menurut Sucipto Hadi Purnomo —putra asli Trikoyo, Jaken yang kini dosen Bahasa dan Sastra Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas Negeri Semarang (Unnes)—, ketoprak di Pati pada umumnya bukan ketoprak tobong (berpindah-pindah tempat untuk menyelenggarakan pertunjukan) melainkan ketoprak tanggapan (pentas karena ada permintaan untuk suatu hajatan).
Berdasarkan penelitiannya selama enam tahun terakhir ini, indikasi ketoprak tetap survive antara lain ditandai dengan frekuensi pementasan yang relatif tinggi.

Papan Atas..

Cahyo Mudho yang merupakan salah satu grup papan atas dan telah mampu mengarungi samudra seni pertunjukan ketoprak sejak 1950, menunjukkan kemampuan bertahan yang mengangumkan. Bahkan, kelompok yang juga tersohor dengan sebutan Ketoprak Bakaran itu hingga kini pun masih tetap laris.

Selama 2001 Cahyo Mudho menjalani 161 kali tanggapan. Kemudian pada 2002 tercatat 159 kali, 2003 terbilang 138 kali. Pada 2004 sebanyak 139 kali dan 2005 ada 122 kali. Sepanjang 2006, mereka mendapatkan 140 kali tanggapan. Kebanyakan sekali tanggapan dua kali pentas baik siang maupun malam.

’’Itu boleh dibilang masih kalah laris dengan Siswo Budoyo. Meski belum genap 15 tahun usianya, kelompok ini yang terlaris. Pada 2006 misalnya, mereka pernah mendapatkan tanggapan 27 kali selama sebulan. Tak jarang pula, mereka terpaksa menolak permintaan tanggapan karena sudah telanjur menerima panjar dari yang lain,’’ ungkap Sucipto.

Ekspansi manggung, lanjutnya, mereka lakukan dengan memenuhi permintaan tanggapan dari luar daerah, seperti Kudus, Demak, Blora, Rembang, Jepara, Grobogan, Boyolali, dan Semarang. Bahkan, mereka pun merambah ke Madiun, Bojonegoro, dan Tuban di Jawa Timur.

Sebaliknya, melihat Pati sebagai sorganya ketoprak itu, mendorong para pemain dari luar daerah untuk berekspasi pula ke daerah tersebut.

’’Selama satu dasawarsa terakhir ini tak sedikit para pemain ketoprak dari Tulungagung, Kediri, Solo, dan Yogyakarta yang ’merumput’ di Pati baik sebagai anggota tetap maupun bon-bonan (pemain tamu),’’ tutur ayah tiga putra itu.

Fungsi Penopang

Kelangsungan hidup grup-grup ketoprak di Pati mendapat dukungan sejumlah fungsi penopang, salah satunya karena masyarakat di wilayah pesisir utara Jawa Tengah itu rata-rata masih ngugemi teks-teks seremonial yang berkaitan dengan khitanan atau pernikahan.

Dengan kata lain, kehadirannya menjadi bagian integral dari atmosfer kosmologi budaya setempat. Dan, sebagai ketoprak yang mengandalkan kelangsungan hidupnya dari permintaan tanggapan, tak pelak lagi arah segmentasinya menuju ke sana.

’’Selain Sura dan Pasa dalam penanggalan Jawa, sampai sekarang tak terlalu sulit mendapati pentas ketoprak di kawasan Pati. Lebih-lebih pada bulan ’baik’ untuk menggelar hajatan mantu dan sunatan, seperti Madilawal, Madilakir, Rejeb, Ruwah, Sawal, Apit, dan Besar. Itu belum termasuk pentas pitulasan,’’ tutur Sucipto.

Lebih lanjut dia menyebutkan, hampir semua desa di Pati mengadakan ritual Sedekah Bumi ataupun Sedekah Laut. ’’Setiap tahun pula, warga di daerah saya tak pernah melewatkan dengan perayaan yang dipuncaki dengan pergelaran kesenian. Dan, ketopraklah yang menjadi pilihan utama. Biasanya pentas siang sekitar pukul 12.30-16.30 sedangkan malam pukul 20.30- 03.00. Soal waktu bisa luwes mulur mungkret-nya tapi tak jauh-jauh dari kisaran itu,’’ tutur dia.

Imbas dari daya survive ketoprak di Pati, menempatkan kehadirannya dalam fungsi sebagai sarana penghidupan. Tentu saja, para pemain, niyaga, waranggana, dan tempat persewaan sarana pentas menjadi lapis pertama yang terkenai imbas positif tersebut.

Lapis berikutnya yang merasai keuntungan ekonomi adalah para pedagang kaki lima yang mrema di sekitar tempat pertunjukan. Biasanya, mereka memiliki jadwal pentas kelompok-kelompok besar dalam sebulan. Dengan berbekal petunjuk itulah mereka turut mengais rezeki.

Fungsi penopang yang paling substansial adalah adanya penonton yang meminati ketoprak. Namun, peran mereka akan sangat tergantung pada kemampuan para pelaku seni melakukan sentuhan ’’ijtihad-ijtihad’’ artistik yang memenuhi selera pasar.

Bukti, dewasa ini tidak sulit memperoleh keping-keping VCD ketoprak Pati di pedagang kaki lima adalah salah satu wujud riil betapa sosok kesenian tradisional tersebut masih lekat di hati masyarakat.

Sumber : http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2008/02/24/2255/Di-Pati-Ketoprak-Tak-Mati

Jumat, 01 November 2013

KERIS

PROFIL KERIS
Keris adalah sejenis senjata tikam khas yang berasal dari Nusantara. Berdasarkan dokumen-dokumen purbakala, keris dalam bentuk awal telah digunakan sejak abad ke-9, bahkan kemungkinan besar telah digunakan sebelum masa tersebut.
Penggunaan keris sendiri tersebar di masyarakat rumpun Melayu. Pada masa sekarang, keris umum dikenal di daerah Indonesia (terutama di Jawa, Madura, Bali, Lombok, Sumatra, sebagian Kalimantan serta Sulawesi), Malaysia, Brunei, Thailand, dan Filipina (khususnya di Mindanao). Di Mindanao, bentuk senjata yang juga disebut keris tidak banyak memiliki kemiripan meski merupakan senjata tikam juga.
Keris memiliki berbagai macam bentuk. Ada yang bilahnya berkelok-kelok (selalu berbilang ganjil) dan ada pula yang berbilah lurus. Orang Jawa menganggap perbedaan bentuk ini memiliki efek esoteris yang berbeda.
Selain digunakan sebagai senjata, keris juga sering dianggap memiliki kekuatan supernatural. Senjata ini sering disebut-sebut dalam berbagai legenda tradisional, seperti keris Mpu Gandring dalam legenda Ken Arok dan Ken Dedes.
Tata cara penggunaan keris berbeda-beda di masing-masing daerah. Di daerah Jawa dan Sunda misalnya, keris ditempatkan di pinggang bagian belakang pada masa damai tetapi ditempatkan di depan pada masa perang. Sementara itu, di Sumatra, Kalimantan, Malaysia, Brunei dan Filipina, keris ditempatkan di depan.
Selain keris, masih terdapat sejumlah senjata tikam lain di wilayah Nusantara, seperti rencong dari Aceh, badik dari Sulawesi, serta kujang dari Jawa Barat. Keris dibedakan dari senjata tikam lain terutama dari bilahnya. Bilah keris tidak dibuat dari logam tunggal yang dicor tetapi merupakan campuran berbagai logam yang berlapis-lapis. Akibat teknik pembuatan ini, keris memiliki kekhasan berupa pamor pada bilahnya.
Bagian-Bagian Keris
Sebagian ahli tosan aji mengelompokkan keris sebagai senjata tikam, sehingga bagian utama dari sebilah keris adalah wilah (bilah) atau bahasa awamnya adalah mata pisau. Tetapi karena keris memunyai kelengkapan lainnya, yaitu warangka (sarung) dan bagian pegangan keris atau ukiran, maka kesatuan terhadap seluruh kelengkapannya disebut keris.
Pegangan keris atau hulu keris
Pegangan keris (bahasa Jawa: gaman) ini bermacam-macam motifnya, untuk keris Bali ada yang bentuknya menyerupai patung dewa, patung pedande, patung raksaka, patung penari, pertapa, hutan. Ada pula yang diukir dengan kinatah emas dan batu mulia.
Pegangan keris Sulawesi menggambarkan burung laut. Hal itu sebagai perlambang terhadap sebagian profesi masyarakat Sulawesi yang merupakan pelaut, sedangkan burung adalah lambang dunia atas keselamatan. Seperti juga motif kepala burung yang digunakan pada keris Riau-Lingga, dan untuk daerah-daerah lainnya sebagai pusat pengembangan tosan aji seperti Aceh, Bangkinang (Riau), Palembang, Sambas, Kutai, Bugis, Luwu, Jawa, Madura, dan Sulu, keris memunyai ukiran dan perlambang yang berbeda. Selain itu, materi yang dipergunakan pun berasal dari aneka bahan seperti gading, tulang, logam, dan yang paling banyak yaitu kayu. Untuk pegangan keris Jawa, secara garis besar terdiri dari sirah wingking (kepala bagian belakang), jiling, cigir, cetek, bathuk (kepala bagian depan), weteng, dan bungkul.
Warangka atau sarung keris
Warangka, atau sarung keris (bahasa Banjar: kumpang), adalah komponen keris yang berfungsi tertentu, khususnya dalam kehidupan sosial masyarakat Jawa, paling tidak karena bagian inilah yang terlihat secara langsung. Warangka yang mula-mula dibuat dari kayu (yang umum adalah jati, cendana, timoho, dan kemuning). Sejalan dengan perkembangan zaman terjadi penambahan fungsi warangka sebagai pencerminan status sosial bagi penggunanya. Bagian atasnya atau ladrang-gayaman sering diganti dengan gading.
Secara garis besar terdapat dua bentuk warangka, yaitu jenis warangka ladrang yang terdiri dari: angkup, lata, janggut, gandek, godong (berbentuk seperti daun), gandar, ri, serta cangkring. Dan jenis lainnya adalah jenis warangka gayaman (gandon) yang bagian-bagiannya hampir sama dengan warangka ladrang hanya tidak terdapat angkup, godong, dan gandek.
Aturan pemakaian bentuk warangka ini sudah ditentukan, walau tidak mutlak. Warangka ladrang dipakai untuk upacara resmi, misalnya menghadap raja, penobatan, pengangkatan pejabat kerajaan, perkawinan, dengan maksud penghormatan. Tata cara penggunaannya adalah dengan menyelipkan gandar keris di lipatan sabuk (stagen) pada pinggang bagian belakang (termasuk sebagai pertimbangan untuk keselamatan raja ). Sedangkan warangka gayaman dipakai untuk keperluan harian, dan keris ditempatkan pada bagian depan (dekat pinggang) atau di belakang (pinggang belakang).
Dalam peperangan, yang digunakan adalah keris warangka gayaman. Pertimbangannya adalah dari sisi praktis dan ringkas, karena warangka gayaman lebih memungkinkan cepat dan mudah bergerak, karena bentuknya lebih sederhana.
Ladrang dan gayaman merupakan pola-bentuk warangka. Bagian utama menurut fungsi warangka adalah bagian bawah yang berbentuk panjang (sepanjang wilah keris) yang disebut gandar atau antupan, maka fungsi gandar adalah untuk membungkus wilah (bilah) dan biasanya terbuat dari kayu dengan  dipertimbangkan agar tidak merusak wilah yang berbahan logam campuran.
Karena fungsi gandar untuk membungkus, sehingga fungsi keindahannya tidak diutamakan, maka untuk memperindahnya dilapisi seperti selongsong-silinder yang disebut pendok. Bagian pendok (lapisan selongsong) inilah yang biasanya diukir sangat indah, dibuat dari logam kuningan, suasa (campuran tembaga emas), perak, emas. Untuk luar Jawa (kalangan raja-raja Bugis, Goa, Palembang, Riau, Bali) pendoknya terbuat dari emas, disertai dengan tambahan hiasan seperti sulaman tali dari emas dan bunga yang bertaburkan intan berlian.
Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa diartikan secara filosofis sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi “manunggaling kawula-Gusti”, bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan selalu aman damai, tenteram, bahagia, sehat sejahtera. Manusia, selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing, juga harus tahu diri untuk bekarya sesuai dengan porsi dan fungsinya masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam dari tosan aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung pelbagai aspek dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya, kini terancam perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya kurang diminati ketimbang aspek legenda dan magisnya.
Untuk keris Jawa, menurut bentuknya, pendok ada tiga macam, yaitu: (1) pendok bunton berbentuk selongsong pipih tanpa belahan pada sisinya, (2) pendok blewah (blengah) terbelah memanjang sampai pada salah satu ujungnya sehingga bagian gandar akan terlihat, serta (3) pendok topengan yang belahannya hanya terletak di tengah. Apabila dilihat dari hiasannya, pendok ada dua macam yaitu pendok berukir dan pendok polos (tanpa ukiran).
Wilah
Wilah atau wilahan adalah bagian utama dari sebuah keris, dan juga terdiri dari bagian-bagian tertentu yang tidak sama untuk setiap wilahan, yang biasanya disebut dapur, atau penamaan ragam bentuk pada wilah-bilah (ada puluhan bentuk dapur). Sebagai contoh, bisa disebutkan dapur jangkung mayang, jaka lola, pinarak, jamang murub, bungkul, kebo tedan, pudak sitegal.
Pada pangkal wilahan terdapat pesi, yakni ujung bawah sebilah keris atau tangkai keris. Bagian inilah yang masuk ke pegangan keris (ukiran). Pesi ini panjangnya antara 5 cm sampai 7 cm, dengan penampang sekitar 5 mm sampai 10 mm, bentuknya bulat panjang seperti pensil. Di daerah Jawa Timur disebut paksi, di Riau disebut puting, sedangkan untuk daerah Serawak, Brunei dan Malaysia disebut punting.
Pada pangkal (dasar keris) atau bagian bawah dari sebilah keris disebut ganja (di Semenanjung Melayu menyebutnya aring). Di tengahnya terdapat lubang pesi (bulat) persis untuk memasukkan pesi, sehingga bagian wilah dan ganja tidak terpisahkan. Pengamat budaya tosan aji mengatakan bahwa kesatuan itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni, di mana ganja sirah cecak, bagian lehernya disebut gulu meled, bagian perut disebut wetengan dan ekornya disebut sebit ron. Ragam bentuk ganja ada bermacam-macam, wilut, dungkul, kelap lintah dan sebit rontal mewakili lambang yoni sedangkan pesi melambangkan lingganya.
Luk
Dilihat dari bentuknya keris dapat dibagi dua golongan besar, yaitu keris yang lurus dan keris yang bilahnya berkelok-kelok atau luk. Salah satu cara sederhana menghitung luk pada bilah, dimulai dari pangkal keris ke arah ujung keris, dihitung dari sisi cembung dan dilakukan pada kedua sisi seberang-menyeberang (kanan-kiri), maka bilangan terakhir adalah banyaknya luk pada wilah-bilah dan jumlahnya selalu gasal (ganjil) dan tidak pernah genap, dan yang terkecil adalah luk tiga dan terbanyak adalah luk tiga belas. Jika ada keris yang jumlah luk nya lebih dari tiga belas, biasanya disebut keris kalawija, atau keris tidak lazim.
Pamor
Pamor merupakan hiasan, motif, atau ornamen yang terdapat pada bilah keris. Hiasan ini dibentuk tidak dengan diukir, diserasah (inlay), atau dilapis, tetapi dengan teknik tempaan yang menyatukan beberapa unsur logam berlainan. Teknik tempa senjata berpamor ini merupakan keahlian khas Indonesia, terutama di Jawa.
Dilihat dari caranya, dikenal dua cara pembuatan pamor yang baik, yaitu mlumah dan miring. Pamor mlumah adalah pamor yang lapisan-lapisannya mendatar, sejajar dengan permukaan bilah, sedangkan pada pamor miring lapisan pamornya tegak lurus dengan permukaan bilah. Pembuatan pamor mlumah lebih mudah daripada pamor miring. Itulah sebabnya, nilai keris berpamor miring lebih tinggi dibandingkan dengan pamor mlumah.
Tangguh keris
Di bidang perkerisan dikenal pengelompokan yang disebut tangguh yang dapat berarti periode pembuatan atau gaya pembuatan. Hal ini serupa dengan misalnya dengan tari Jawa gaya Yogyakarta dan Surakarta. Pemahaman akan tangguh akan membantu mengenali ciri-ciri fisik suatu keris.
Beberapa tangguh yang biasa dikenal:
·   tangguh Majapahit,
·   tangguh Pajajaran,
·   tangguh Mataram,
·   tangguh Yogyakarta,
·   tangguh Surakarta.
Anatomi atau Ricikan Keris
Anatomi keris dikenal juga dengan istilah ricikan keris. Berikut ini akan diuraikan anatorni keris satu persatu.
  1. Ron dha, yaitu ornamen pada huruf Jawa dha.
  2. Sraweyan, yaitu dataran yang merendah di belakang sogogwi, di atas ganja.
  3. Bungkul, bentuknya seperti bawang, terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ganja.
  4. Pejetan, bentuknya seperti bekas pijatan ibu jari yang terletak di belakang gandik.
  5. Lambe gajah, bentuknya menyerupai bibir gajah. Ada yang rangkap dan Ietaknya menempel pada gandik.
  6. Gandik, berbentuk penebalan agak bulat yang memanjang dan terletak di atas sirah cecak atau ujung ganja.
  7. Kembang kacang, menyerupai belalai gajah dan terletak di gandik bagian atas.
  8. Jalen, menyerupai taji ayam jago yang menempel di gandik.
  9. Greneng, yaitu ornamen berbentuk huruf Jawa dha yang berderet.
  10. Tikel alis, terletak di atas pejetan dan bentuknya mirip alis mata.
  11. Janur, bentuk lingir di antara dua sogokan.
  12. Sogokan depan, bentuk alur dan merupakan kepanjangan dari pejetan.
  13. Sogokan belakang, bentuk alur yang terletak pada bagian belakang.
  14. Pudhak sategal, yaitu sepasang bentuk menajam yang keluar dari bilah bagian kiri dan kanan.
  15. Poyuhan, bentuk yang menebal di ujung sogokan.
  16. Landep, yaitu bagian yang tajam pada bilah keris.
  17. Gusen, terletak di be!akang landep, bentuknya memanjang dari sor-soran sampai pucuk.
  18. Gula milir, bentuk yang meninggi di antara gusen dan kruwingan.
  19. Kruwingan, dataran yang terletak di kiri dan kanan adha-adha.
  20. Adha-adha, penebalan pada pertengahan bilah dari bawah sampal ke atas.
Makna Desain Keris
Pulang Geni
Pulang Geni merupakan salah satu dapur keris yang populer dan banyak dikenal karena memiliki padan nama dengan pusaka Arjuna. Pulang Geni bermakna ratus atau dupa atau juga Kemenyan. Bahwa manusia hidup harus berusaha memiliki nama harum dengan berperilaku yang baik, suka tolong menolong dan mengisi hidupnya dengan hal-hal atau aktivitas yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Manusia harus berkelakuan baik dan selalu menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak, tentu namanya akan selalu dikenang walau orang tersebut sudah meninggal. Oleh karena itu, keris dapur Pulang Geni umumnya banyak dimiliki oleh para pahlawan atau pejuang.
Kidang Soka
Kidang Soka memiliki makna “kijang yang berduka”. Bahwa hidup manusia akan selalu ada duka, tetapi manusia diingatkan agar tidak terlalu larut dalam duka yang dialaminya. Kehidupan masih terus berjalan dan harus terus dilalui dengan semangat hidup yang tinggi. Keris ini memang memiliki ciri garap sebagaimana keris tangguh Majapahit, tetapi dilihat pada penerapan pamor serta besinya, tidak masuk dikategorikan sebagai keris yang dibuat pada zaman Majapahit. Oleh karena itu, dalam pengistilahan perkerisan dikatakan sebagai keris Putran atau Yasan yang diperkirakan dibuat pada zaman Mataram. Kembang Kacang Pogog semacam ini umumnya disebut Ngirung Buto.
Sabuk Inten
Sabuk Inten merupakan salah satu dapur keris yang melambangkan kemakmuran dan atau kemewahan. Dari aspek filosofi, dapur Sabuk Inten melambangkan kemegahan dan kemewahan yang dimiliki oleh para pemilik modal, pengusaha, atau pedagang pada zaman dahulu. Keris Sabuk Inten ini menjadi terkenal, selain karena legendanya, juga karena adanya cerita silat yang sangat populer berjudul Naga Sasra Sabuk Inten karangan Sabuk Inten karangan S.H. Mintardja pada 1970-an.
Naga Sasra
Naga Sasra adalah salah satu nama dapur “Keris Luk 13″ dengan gandik berbentuk kepala naga yang badannya menjulur mengikuti sampai ke hampir pucuk bilah. Salah satu dapur keris yang paling terkenal walau jarang sekali dijumpai adanya keris Naga Sasra Tangguh tua. Umumnya keris dapur Naga Sasra dihiasi dengan kinatah emas sehingga penampilannya terkesan indah dan lebih berwibawa. Keris ini memiliki gaya seperti umumnya keris Mataram Senopaten yang bentuk bilahnya ramping seperti keris Majapahit, tetapi besi dan penerapan pamor serta gaya pada wadidhang-nya menunjukkan ciri Mataram Senopaten.
Sepertinya keris ini berasal dari era Majapahit akhir atau bisa juga awal era Mataram Senopaten (akhir abad ke-15 sampai awal abad ke-16). Keris ini dulunya memiliki kinatah Kamarogan yang karena perjalanan waktu, akhirnya kinatah emas tersebut hilang terkelupas. Tetapi secara keseluruhan, terutama bilah keris ini masih bisa dikatakan utuh. Keris dapur Naga Sasra berarti “ular yang jumlahnya seribu (beribu-ribu)” dan juga dikenal sebagai keris dapur “Sisik Sewu”. Dalam budaya Jawa, naga diibaratkan sebagai penjaga. Oleh karena itu, banyak kita temui pada pintu sebuah candi atau hiasan lainnya yang dibuat pada zaman dahulu. Selain penjaga, naga juga diibaratkan memiliki wibawa yang tinggi. Oleh karena itu, keris Naga Sasra memiliki nilai yang lebih tinggi daripada keris lainnya.
Sengkelat
Sengkelat adalah salah satu keris dari jaman Mataram Sultan Agung (awal abad ke-17). Pamor keris sangat rapat, padat, dan halus. Ukuran lebar bilah lebih lebar dari keris Majapahit, tetapi lebih ramping daripada keris Mataram era Sultan Agung pada umumnya. Panjang bilah 38 cm, yang berarti lebih panjang dari Keris Sengkelat Tangguh Mataram Sultan Agung umumnya. Bentuk luknya lebih rengkol dan dalam dari pada keris era Sultan Agung pada umumnya. Ganja yang digunakan adalah Gonjo Wulung (tanpa pamor) dengan bentuk Sirah Cecak runcing dan panjang dengan buntut urang yang nguceng mati, Kembang Kacang Nggelung Wayang. Jalennya pendek dengan Lambe Gajah yang lebih panjang dari Jalen. Sogokan tidak terlalu dalam dengan janur yang tipis tetapi tegas sampai ke pangkal bilah. Warangka keris ini menggunakan gaya Surakarta yang terbuat dari kayu cendana.
Raga Pasung atau Rangga Pasung
Raga Pasung, atau Rangga Pasung, memiliki makna sesuatu yang dijadikan sebagai upeti. Dalam hidup di dunia, sesungguhnya hidup dan diri manusia ini telah diupetikan kepada Tuhan YME. Dalam arti bahwa hidup manusia ini sesungguhnya telah diperuntukkan untuk beribadah, menyembah kepada Tuhan YME. Dan karena itu kita manusia harus ingat bahwa segala sesuatu yang kita miliki di dunia ini sesungguhnya semu dan kesemuanya adalah milik Tuhan YME.
Bethok Brojol
Bethok Brojol adalah keris dari tangguh tua juga. Keris semacam ini umumnya ditemui pada tangguh tua seperti Kediri/Singasari atau Majapahit. Dikatakan Bethok Brojol karena bentuknya yang pendek dan sederhana tanpa ricikan kecuali Pijetan sepeti keris dapur Brojol.
Puthut Kembar
Puthut Kembar oleh banyak kalangan awam disebut sebagai Keris Umphyang. Padahal sesungguhnya Umphyang adalah nama seorang empu, bukan nama dapur keris. Juga ada keris dapur Puthut Kembar yang pada bilahnya terdapat rajah dalam aksara Jawa kuno yang tertulis “Umpyang Jimbe”. Ini juga merupakan keris buatan baru, mengingat tidak ada sama sekali dalam sejarah perkerisan di mana sang empu menuliskan namanya pada bilah keris sebagai label atau trade mark dirinya. Ini merupakan kekeliruan yang bisa merusak pemahaman terhadap budaya perkerisan.
Puthut dalam terminologi Jawa bermakna cantrik, atau orang yang membantu atau menjadi murid dari seorang pandita/empu pada zaman dahulu. Bentuk Puthut ini konon berasal dari legenda tentang cantrik atau santri yang diminta untuk menjaga sebilah pusaka oleh sang Pandita, juga diminta untuk terus berdoa dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bentuk orang menggunakan gelungan di atas kepala, menunjukkan adat menyanggul rambut pada zaman dahulu. Bentuk wajahnya, walau samar, masih terlihat jelas guratannya. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa dapur Puthut mulanya dibuat oleh Empu Umpyang yang hidup pada era Pajang awal. Tetapi ini pun masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah karena tidak didukung oleh bukti-bukti sejarah.
Pajang
Ada keris yang bernama Pajang-Majapahit, yang berarti keris buatan Pajang yang dibuat pada era Majapahit akhir. Penamaan keris ini perlu diteliti kembali mengingat perbedaaan zaman antara Kerajaan Majapahit (abad ke-14-15) dengan zaman Kerajaan Pajang (abad ke-17), meski dalam Nagarakretagama yang ditulis pada zaman Majapahit disebutkan adanya wilayah Pajang pada zaman tersebut.
Keris Lurus Semelang
Keris Lurus Semelang dalam bahasa Jawa bermakna “kekhawatiran atau kecemasan terhadap sesuatu”. Sedangkan Gandring memiliki arti “setia atau kesetiaan” yang juga bermakna “pengabdian”. Dengan demikian, Sumelang Gandring memiliki makna sebagai bentuk dari sebuah kecemasan atas ketidaksetiaan akibat adanya perubahan. Ricikan keris ini antara lain: gandik polos, sogokan satu di bagian depan dan umumnya dangkal dan sempit, serta sraweyan dan tingil. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa keris dapur Sumelang Gandring termasuk keris dapur yang langka atau jarang ditemui walau banyak dikenal di masyarakat perkerisan. (Ensiklopedia Keris: 445-446).
Sumelang Gandring
Pusaka ini hilang dari Gedhong Pusaka Keraton. Lalu Raja menugaskan Empu Supo Mandangi untuk mencari kembali pusaka yang hilang tersebut. Dari sinilah berawal tutur mengenai nama Empu Pitrang yang tidak lain juga adalah Empu Supo Mandrangi (Ensiklopedia Keris: 343-345).
Tilam Upih
Tilam Upih dalam terminologi Jawa bermakna tikar yang terbuat dari anyaman daun untuk tidur, diistilahkan untuk menunjukkan ketenteraman keluarga atau rumah tangga. Oleh karena itu, banyak sekali pusaka keluarga yang diberikan secara turun-temurun dalam dapur Tilam Upih. Ini menunjukkan adanya harapan dari para sesepuh keluarga agar anak-cucunya nanti bisa memeroleh ketenteraman dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga.
Sedangkan Pamor ini dinamakan Udan Mas Tiban. Ini karena terlihat dari penerapan pamor yang seperti tidak direncanakan sebelumnya oleh si empu. Berbeda dengan kebanyakan Udan Mas Rekan yang bulatannya sangat rapi dan teratur, Udan Mas Tiban ini bulatannya kurang begitu teratur tetapi masih tersusun dalam pola 2-1-2. Pada 1930-an, yang dimaksud dengan pamor Udan Mas adalah Pamor Udan Mas Tiban yang pembuatannya tidak direncanakan oleh sang empu (bukan pamor rekan). Ini dikarenakan pamor Udan Mas yang rekan dicurigai sebagai pamor buatan (rekan). Tetapi toh juga banyak keris pamor udan mas rekan yang juga merupakan pembawaan dari zaman dahulu.
Oleh banyak kalangan, keris dengan Pamor Udan Mas dianggap memiliki tuah untuk memudahkan pemiliknya mendapatkan rezeki. Dengan rezeki yang cukup,diharapkan seseorang bisa membina rumah tangga dan keluarga lebih baik dan sejahtera. Lar Gang Sir konon merupakan kepanjangan dari Gelar Ageman Siro yang memiliki makna bahwa gelar atau jabatan dan pangkat di dunia ini hanyalah sebuah ageman atau pakaian yang suatu saat tentu akan ditanggalkan. Karena itu jika kita memiliki jabatan/pangkat atau kekayaan, maka janganlah kita sombong dan takabur (ojo dumeh). Jangan mentang-mentang memiliki kekuasaan, pangkat dan jabatan atau kekayaan, maka kita bisa seenaknya sendiri sesuai keinginan kita tanpa memikirkan kepentingan orang lain.
Keris berasal dari Kepulauan Jawa diduga telah digunakan antara abad ke-9 dan ke-14. Dalam beberapa pandangan penggolongan pembabakan keris ini dapat digolongkan ke dalam:
Keris Buddha dan pengaruh India-Tiongkok
Kerajaan-kerajaan awal Indonesia sangat terpengaruh oleh budaya Buddha dan Hindu. Candi di Jawa Tengah adalah sumber utama budaya zaman tersebut. Namun sayang, sedikit sumber yang menginformasikan penggunaan keris atau sesuatu yang serupa dengannya. Relief di Borobudur tidak menunjukkan pisau belati yang mirip dengan keris.
Dari penemuan arkeologis banyak ahli yang setuju bahwa protokeris berbentuk pisau lurus dengan bilah tebal dan lebar. Salah satu keris tipe ini adalah keris milik keluarga Knaud, didapat dari Sri Paku Alam V. Keris ini relief di permukaannya yang berisi epik Ramayana dan terdapat tahun Jawa 1264 (1342 Masehi), meski ada yang meragukan penanggalannya.
Pengaruh kebudayaan Tiongkok mungkin masuk melalui kebudayaan Dongson di Vietnam yang merupakan penghubung antara kebudayaan Tiongkok dengan dunia Melayu. Terdapat keris sajen yang memiliki bentuk gagang manusia sama dengan belati Dongson.
Keris “Modern”
Keris yang saat ini kita kenal adalah hasil proses evolusi yang panjang. Keris modern yang dikenal saat ini adalah belati penusuk yang unik. Keris memperoleh bentuknya pada masa Majapahit (abad ke-14) dan Kerajaan Mataram baru (abad ke-17-18).
Pembagian masa keris juga terbagi dalam beberapa tahapan zaman, sebagi berikut:
1. Zaman Tangguh Budho (Kuno)
  1. Zaman Kerajaan Purwacarita, empunya adalah: Mpu Hyang Ramadi, Mpu Iskadi, Mpu Sugati, Mpu Mayang, dan Mpu Sarpadewa.
  2. Zaman Kerajaan Tulis, empunya adalah Mpu Sukmahadi.
  3. Zaman Kerajaan Medang Kamulan, empunya adalah Mpu Bramakedali.
  4. Zaman Kerajaan Giling Wesi, empunya adalah: Mpu Saptagati dan Mpu Janggita.
  5. Zaman Kerajaan Wirotho, empunya adalah Mpu Dewayasa I.
  6. Zaman Kerajaan Mamenang, empunya adalah Mpu Ramayadi.
  7. Zaman Kerajaan Pengging Wiraradya, empunya adalah Mpu Gandawisesa, Mpu Wareng, dan Mpu Gandawijaya.
  8. Zaman Kerajaan Jenggala, empunya adalah Mpu Widusarpa dan Mpu Windudibya.
2. Zaman Tangguh Madya Kuno (Kuno Pertengahan)
Zaman Kerajaan Pajajaran Makukuhan, empunya adalah: Mpu Srikanekaputra, Mpu Welang, Mpu Cindeamoh, Mpu Handayasangkala, Mpu Dewayani, Mpu Anjani, Mpu Marcu kunda, Mpu Gobang, Mpu Kuwung, Mpu Bayuaji, Mpu Damar jati, Mpuni Sumbro, dan Mpu Anjani.
3. Zaman Tangguh Sepuh Tengahan (Tua Pertengahan)
  1. Zaman Kerajaan Jenggala, empunya adalah Mpu Sutapasana.
  2. Zaman Kerajaan Kediri.
  3. Zaman Kerajaan Majapahit.
  4. Zaman Tuban/sezaman Majapahit, empunya adalah: Mpu Kuwung, Mpu Salahito, Mpu Patuguluh, Mpu Demangan, Mpu Dewarasajati, dan Mpu Bekeljati.
  5. Zaman Madura/sezaman Majapahit, empunya adalah: Mpu Sriloka, Mpu Kaloka, Mpu Kisa, Mpu Akasa, Mpu Lunglungan, dan Mpu Kebolungan.
  6. Zaman Blambangan/sezaman Majapahit, empunya adalah: Mpu Bromokendali, Mpu Luwuk, Mpu Kekep, dam Mpu Pitrang.
4. Zaman Tangguh Tengahan (Pertengahan)
  1. Zaman Kerajaan Demak, empunya adalah Mpu Joko Supo.
  2. Zaman Kerajaan Pajang, empunya adalah Mpu Omyang, Mpu Loo Bang, Mpu Loo Ning, Mpu Cantoka, dan Japan.
  3. Zaman Kerajaan Mataram, empunya adalah: Mpu Tundung, Mpu Setrobanyu, Mpu Loo Ning, Mpu Tunggulmaya, Mpu Teposono, Mpu Kithing, Mpu Warih Anom, dan Mpu Madrim.
5. Zaman Tangguh Nom (Muda)
  1. Zaman Kerajaan Kartasura, empunya adalah: Mpu Luyung I, Mpu Kasub, Mpu Luyung II, Mpu Hastronoyo, Mpu Sendang Warih, Mpu Truwongso, Mpu Luluguno, Mpu Brojoguno I, dan Mpu Brojoguno II.
  2. Zaman Kasunanan Surakarta, empunya: Mpu Brojosentiko, Mpu Mangunmalelo, Mpu R.Ng. Karyosukadgo, Mpu Brojokaryo, Mpu Brojoguno III, Mpu Tirtodongso, Mpu Sutowongso, Mpu Japan I, Mpu Japan II, Mpu Singosijoyo, Mpu Jopomontro, Mpu Joyosukadgo, Mpu Montrowijoyo, Mpu Karyosukadgo I, Mpu Wirosukadgo, Mpu Karyosukadgo II, dan Mpu Karyosukadgo III.
Tahapan-tahapan zaman kerajaan berhubungan langsung dengan tahapan zaman perkerisan. Dengan demikian pada setiap zaman kerajaan itu terdapat beberapa orang eyang/empu yang bertugas untuk menciptakan keris.
Empu Keris
Pertama, empu berarti sebutan kehormatan misalnya Empu Sedah atau Empu Panuluh. Arti kedua adalah “ahli dalam pembuatan keris”. Dalam kesempatan ini, empu yang kami bicarakan adalah seseorang yang ahli dalam pembuatan keris. Dengan tercatatatnya berbagai nama “keris” pastilah ada yang membuat. Pertama-tama yang harus diketahui adalah tahapan zaman terlahirnya “keris” itu, kemudian meneliti bahan keris, dan ciri khas sistem pembuatan keris. Ilmu untuk kepentingan itu dinamakan “tangguh”. Dengan ilmu tangguh itu, kita dapat mengenali nama para empu dan hasil karyanya yang berupa bilahan-bilahan keris, pedang, tombak, dan lain-lainnya.
Keris-keris ciptaan empu itu setiap zaman memunyai ciri-ciri khas tersendiri. Maka dari itu, para pendata benda pusaka itu tidak kebingungan. Ciri khas terletak pada segi garap dan kualitas besinya. Kualitas besi merupakan ciri khas yang paling menonjol, sesuai dengan tingkat sistem pengolahan besi pada zaman itu, juga penggunaan bahan “pamor” yang memunyai tahapan-tahapan pula. Bahan pamor yang mula-mula dipergunakan batu “meteor” atau “batu bintang” yang dihancurkan dengan menumbuknya hingga seperti tepung. Kemudian kita mengenali titanium semacam besi warnanya keputihan seperti perak; besi titanium dipergunakan pula sebagai bahan pamor. Titanium memunyai sifat keras dan tidak dapat berkarat, sehingga baik sekali untuk bahan pamor. Sesuai dengan asalnya di Prambanan maka pamor tersebut dinamakan pamor Prambanan. Keris dengan pamor Prambanan dapat dipastikan bahwa keris tersebut termasuk bertangguh Nom, karena diketemukannya pada zaman Kerajaan Mataram Kartasura (1680-1744).
Kepustakaan
Duljoni. 2008. “Makna Desain Keris dalam Budaya Jawa” [Online] http://njowo.multiply.com/journal/item/185/Makna_Desain_Keris_Dalam_Budaya_Jawa tanggal 9 Juni 2009.
Pudjadi Soekarno. 1997. “The Javanese Keris, A Brief Description” [Online] http://www.nikhef.nl/~tonvr/keris/keris2/keris01.html, tanggal 7 Juni 2009.
Mas Kumitir. 2008. “Empu Keris” [Online] http://alangalangkumitir.wordpress.com/2008/07/24/empu-keris/Tanggal 15 April 2009.
Warto. 2008. “Makna Desain Keris dalam Budaya Jawa” [Online] http://warto.files.wordpress.com/2008/03/makna-desain-pada-benda-benda-budaya-di-jawa.pdf tanggal 9 Juni 2009.
_____ . 2009. “Keris” [Online] http://id.wikipedia.org/wiki/keris, tanggal 12 Juni, disarikan dari hasil Sarasehan Pameran Seni Tosan Aji, Bentara Budaya Jakarta, Budiarto Danujaya, Jakarta, 1996-2009.

JM

JM
Powered By Blogger

Halaman

 

© 2013 JARENE MBAHE. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top