Minggu, 10 Maret 2013

Orang Samin di Sukolilo,Pati Jateng

Urunan Hasil Panen sebagai Ganti Pajak

KEHIDUPAN sehari-hari wong Sikep di Dukuh Bombong, Desa Baturejo, Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati dimulai pukul enam pagi. Saat langit masih cukup remang, apalagi bila sedang musim penghujan, mereka yang berusia remaja dan dewasa, sudah berduyun-duyun pergi ke ''sekolah''. Jangan berpikir itu sebuah bangunan berisi ruang-ruang kelas tempat seorang siswa belajar dan guru mengajar. 
Bukan. Orang-orang Samin di situ tak memercayai pendidikan formal seperti yang dikenal umum. ''Sekolah'' yang dimaksud itu, hamparan sawah yang hampir setiap hari mereka datangi dan menjadi sumber utama penghidupan mereka.
''Apa kang aran sekolah? Iku lak ngajarke budi pekerti lan ketrampilan. Kabeh diajarke ning pondhokane sedulur-sedulur Sikep. Ketrampilan ya diajarke ning sawah-sawah. (Apa yang disebut sekolah? Itu kan mengajarkan budi pekerti dan keterampilan. Semua diajarkan di rumah orang Sikep. Keterampilan ya diajarkan di sawah-sawah)," ungkap Mbah Tarno, pemuka masyarakat.
Menurut pengakuan dia, tak ada anak wong Sikep yang disekolahkan dalam pendidikan formal. Ajaran budi pekerti dan tentu saja saminisme diinisiasikan di rumah-rumah mereka. Setiap hari, anak-anak lebih banyak melewatkan waktu dengan bermain-main di sekitar lingkungan mereka atau bahkan ikut orang tua ke sawah.
Dan memang, betapa pentingnya sawah bagi kehidupan mereka. Bila musim penghujan, mereka menanam padi dan ketika kemarau mereka menanam jagung. ''Tetanen wis dadi uripe sedulur Sikep. Dagang ora kulina lan ora seneng. Wong dagang iku lak gelem nindakna goroh. Ingsun ora gelem goroh. Yen tetanen, sapa kang digorohi?"
Ya, pertanian telah menjadi sumber penghidupan, karena mereka tak suka berdagang yang disebutnya sebagai aktivitas yang tak luput dari kebohongan. Padahal, orang Sikep memiliki prinsip tak mau berbohong. Jadi boleh dibilang, kehidupan wong Sikep di situ, bergerak dari rumah ke sawah dalam siklus yang (barangkali) sangat monoton. Boleh dibilang pula, kehidupan orang Sikep di situ seolah-olah berada dalam bingkai rumah dan sawah. Tak ada warna lain selain itu. Kalau toh mereka bepergian -dan itu sangat jarang dilakukan mereka- hanya apabila mereka membutuhkan, misalnya untuk menjual sebagian panenan. 
Dalam tataran itu, perantauan atau mencari penghidupan di luar wilayah mereka hampir-hampir tak pernah dilakukan. Walau begitu, seorang staf di Balai Desa Baturejo mengatakan, beberapa tahun ini telah ada perubahan cara hidup dalam diri mereka, khususnya dalam soal mencari penghidupan.
''Beberapa kalangan muda mereka mulai membuka diri ke dunia luar dan mencari pekerjaan dengan merantau ke tempat lain. Namun memang secara umum masih banyak yang bertahan dengan bertani saja,'' ujar sumber tersebut.
Mencari Ikan
Dengan monotonitas seperti itu, dalam keyakinan wong Sikep, segalanya serbabersahaja. Alam bagi mereka merupakan ajang yang demikian bermurah hati untuk penghidupan. Ya, mereka makan dari hasil panenan. Dan, ketika mereka membutuhkan lauk-pauk, alam pulalah yang menyediakannya buat mereka.
Banyaknya bonorawa (lahan yang menyerupai rawa-rawa kecil) yang terdapat di sekitar persawahan mereka adalah ekosistem yang baik untuk beberapa jenis ikan. Dan, pencarian ikan itu biasanya dilakukan pada malam hari oleh para lelaki muda, meskipun seharian tenaganya telah terperas oleh kerja di sawah.
Di sela-sela itu, tak pernahkah mereka saling berkumpul untuk sekadar membicarakan persoalan mereka pribadi? Ketika ditanya itu, dengan tegas Mbah Tarno menjawab, ''Kumpulan ya karo rabine dhewek-dhewek.'' Maksudnya, ''berkumpul'' dalam pandangan mereka itu adalah melakukan hubungan suami istri. 
Kalau boleh diringkas, beginilah siklus hidup wong Sikep di Bombong. Pagi hari mereka pergi ke sawah hingga siang atau bahkan sore hari. Dan, pada malam hidup mereka diisi dengan mencari ikan untuk lauk-pauk. 
Dengan kebersahajaan serupa itu, adakah mereka melakukan segalanya dengan cara yang serbatradisional dan menolak peranti teknologi yang tak bisa mereka buat sendiri? Tak selalu. Mereka bukan komunitas yang zakelijk dan mati-matian menolak peranti teknologi. Bahkan, peranti itu diterimanya sebagai pendukung cara hidup mereka.
Mau bukti? Selain rumah-rumah mereka telah berlistrik, untuk mencari ikan misalnya, banyak dari mereka yang menggunakan pancing setrum dengan tenaga aki. Bahkan beberapa sumber di dukuh sekitarnya mengungkapkan, kini beberapa wong Sikep telah memiliki motor untuk aktivitas sehari-hari.
Contoh lain, di rumah Mbah Tarno saja terdapat sebuah pesawat televisi hitam putih model lama yang berada di pojok ruang tamu, dekat tumpukan karung-karung padi. ''Iku diparingi rombongan mahasiswa, ning wis rusak,'' ujar Icuk Bamban, putra bungsu Mbah Tarno.
Sering Didatangi
Kehidupan yang secara spesifik berbeda dari komunitas kebanyakan, tak termungkiri lagi membuat komunitas wong Sikep sering didatangi orang dari luar. Tentu saja kedatangan mereka memiliki maksud berbeda-beda. Ada yang berupa tur studi, seperti yang dilakukan mahasiswa pemberi pesawat televisi itu. Ada yang datang untuk keperluan politis seperti yang sering terjadi menjelang pemilu.
''Pemilu lalu sebagian besar mereka pendukung partai yang berjaya pada masa Orba. Akan tetapi yang muda-muda telah banyak yang memilih partai pemenang pemilu lalu,'' ujar Kunarto SH, Sekretaris Kecamatan Sukolilo.
Dia juga mengungkapkan soal ketokohan Mbah Tarno. Maksudnya, dalam melakukan pilihan, sebagian besar wong Sikep mengikuti pilihan sang tokoh. ''Tak heran dia banyak didatangi orang partai. Namun ya tak mudah. Wong berhadapan dengan Bupati saja mereka bergeming dengan keyakinannya. Misalnya ketika mau diberi bantuan sesuatu, mereka menolak dan bilang telah memilikinya.''
Dalam perkara administratif pemerintahan, bukan hal mudah bagi pemerintah untuk mengajak mereka patuh aturan. Lihat saja, seperti yang dilakukan penganjur saminisme Samin Surosentiko yang menolak pajak pada Belanda, mereka pun tak mau mengeluarkan pajak. Akan tetapi, bukan berarti tak ada yang bisa ditarik dari mereka.
''Istilahnya saja yang harus diganti. Kalau disuruh bayar pajak mereka bilang harta yang mereka punyai itu atas usaha mereka yang diwarisi sejak zaman Adam. Namun katakan saja 'urunan hasil panen' sebagai alih-laih pajak, mereka akan bersedia,'' ujar Kunarto.
Belum lagi soal KTP. Khususnya dalam kaitan penerapan nama agama dalam KTP, selama ini masih ada ketidaksepakatan antara wong Sikep dan staf di balai desa. Mereka menginginkan agama yang dicantumkan adalah ''agama Adam'' seperti yang mereka yakini. Sudah pasti itu jadi persoalan dalam pembuatan KTP yang memang tak mengenal agama tersebut. Yang terjadi selanjutnya adalah pengosongan nama agama.
Apa kata Mbah Tarno soal agama? ''Agama iku ageman. Sing diagem iku gaman. Gamane wong lanang ya padha kabeh. Gaman sing kanggo sikep rabi. Adam iku pangucape.''
Tak mudah menerjemahkan kalimat-kalimat tokoh Sikep Bombong itu. Akan tetapi yang pasti, perkawinan seperti yang telah disebutkan pada tulisan pertama menjadi unsur terpenting dalam keyakinan saminisme mereka. Yang pasti lagi, sejauh ini mereka tetap berupaya agar ''agama Adam'' mereka diterakan dalam KTP.

Suku Samin Di Blora



Blora selain di sebut kota sate atau kota jati,ternyata ada sekelomok penduduk yang unik bisa di sebut suku Samin..

Di blog ini saya akan mengulas tentang suku samin ini. bermula dari latar blakang gerakan Samin secara historis muncul pada tahun 1890, ketika seorang petani Jawa, Samin Surosentiko mulai menentang kolonial di Kabupaten Blora dan Kabupaten Rembang, suatu wilayah di Jawa Tengah bagian utara. Pada tahun 1905 gerakan Samin mulai menarik perhatian dari pihak kolonial Belanda.

Pada waktu itu gerakan Samin ini menentang Politik Etis yang diterapkan di Jawa termasuk Blora.
Ajaran Saminisme muncul sebagai akibat atau reaksi dari pemerintah kolonial Belanda yang sewenang-wenang. Perlawanan dilakukan tidak secara fisik tetapi berwujud penentangan terhadap segala peraturan dan kewajiban yang harus dilakukan rakyat terhadap Belanda misalnya dengan tidak membayar pajak. Terbawa oleh sikapnya yang menentang tersebut mereka membuat tatanan, adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan tersendiri.

Dalam ajaran politik-nya Samin Surosentiko mengajak para pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Kolonial Belanda. Gerakan Samin sebagai gerakan petani anti kolonial lebih cenderung mempergunakan metode protes pasif, artinya gerakan yang tidak merupakan pemberontakan yang radikal. Gerakan Samin Surosentiko adalah gerakan protes petani yang anggota-anggotanya terdiri dari petani kaya dan petani miskin.

Siapa sich Suro Suntiko itu?

Surosentiko adalah penduduk pribumi Blora lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.

Pengetahuan intelektual Samin Surosentiko didapat dari ayah, yaitu Raden Surowijaya yang merupakan anak dari pangeran Kusumaniayu (Bupati Sumoroto, yaitu kawasan distrik pada kabupaten Tulungagung Jawa Timur). Lelaki kelahiran tahun 1859 di Ploso ini sejak dini dijejali dengan pandangan-pandangan figuratif pewayangan yang mengagungkan tapabrata, gemar prihatin, suka mengalah (demi kemenangan akhir), dan mencintai keadilan.

Setelah beranjak dewasa, dia terpukul melihat realitas yang terjadi, yaitu banyaknya nasib rakyat yang sengsara, dimana Belanda pada saat itu sangat rajin melakukan privatisasi hutan jati dan mewajibkan rakyat untuk membayar pajak.

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.


Pada 1890 Samin Surosentiko mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak
yang tertarik dan dalam waktu singkat sudah banyak orang menjadi pengikutnya. Saat itu pemerintah kolonial Belanda menganggap sepi ajaran tersebut, hanya dianggap sebagai ajaran kebatinan atau agama baru yang remeh temeh belaka.
Pada tahun 1903 residen Rembang melaporkan terdapat 722 orang pengikut Samin yang tersebar di 34 desa di Blora bagian selatan dan Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Kemudian pada tahun 1907, pengikut Samin sudah berjumlah sekitar 5000 orang. Pemerintah mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan.
Pada 8 November 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai Ratu Adil dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian 40 hari sesudah menjadi Ratu Adil itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh asisten Wedana Randublatung, Raden Pranolo Beserta 8 pengikutnya


Pokok ajaran Samin adalah sebagai berikut:


  • Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
  • Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
  • Bersikap sabar dan jangan sombong.
  • Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
  • Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.


Kemudian dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Kolonial Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap:

  • Penolakan membayar pajak
  • Penolakan memperbaiki jalan
  • Penolakan jaga malam (ronda)
  • Penolakan kerja paksa / rodi

Kamis, 07 Maret 2013

Tradisi Meron Sukolilo Jawa Tengah


Perubahan merupakan output dari pertumbuhan dan perkembangan. Dalam era global semacam ini, tak pelak perubahan semakin mengekspansi seluruh sendi-sendi kehidupan, apalagi dengan perubahan dalam masyarakat sekarang yang terbilang sangat wajar, mengingat manusia memiliki kebutuhan yang tidak terbatas. Perubahan itu dapat terjadi di berbagai aspek kehidupan, seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan, serta religi/keyakinan.

Masyarakat tidak dapat lepas dari yang namanya perubahan, meski mereka tidak mengiginkannya sekalipun, tetapi perubahan akan tetap terjadi. Perubahan dalam aspek kehidupan misalnya, manusia tidak akan terus hidup kekal, penuaan akan terjadi dan menyebabkan perubahan wajah serta pemikiran. Begitupun dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat yang lebih tepatnya disebut perubahan sosial. Dari perubahan sosial yang terjadi, maka budaya sekitar pun ikut berubah, karena pada hakikatnya perubahan sosial merupakan bagian dari perubahan budaya. Budaya yang sudah tertanam kuat dalam konvensi masyarakat, lambat laun terkikis oleh arus globalisasi. Termasuk dalam hal ini eksistensi masyarakat adat dalam suatu daerah yang semakin terancam. Sehingga upaya eksistensi dalam tubuh masyarakat adat sangat perlu, ditengah besarnya pemberangusan dan penghancuran terhadap berbagai nilai dan pranata-pranata yang dimiliki.

Masyarakat Sukolilo dan Meronan

Negara Indonesia tak akan lepas dari semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang menunjukkan kemajemukannya. Keragaman ini bisa dilihat dalam realitas berbagai kelompok masyarakat diseluruh nusantara yang juga bermuara pada perbedaan adaptasi interaktif atau komunitas terhadap ekosistem lokalnya yang melahirkan kearifan lingkungan dan ‘mode of production’ yang berbeda satu sama lain. Namun keragaman tersebut kini disatukan sebagai bangsa Indonesia dan lalu dipilah-pilah kedalam berbagai suku bangsa, kelompok penutur bahasa tertentu, maupun kelompok penganut ajaran agama yang berbeda satu sama lain.

Salah satu bagian dari keanekaragaman adalah konsepsi yang berlangsung dalam masyarakat di Desa Sukolilo, Pati, Jawa Tengah. Masyarakat yang hidup dilereng pegunungan kendeng ini, mempunyai perangai yang ramah sesuai dengan karakter orang Jawa pada umumnya. Sifat halus adalah ciri khas masyarakat Jawa. Kehidupan diyakini harus dijalani dengan tenang sehingga ketenangan batin tetap terjaga. Berbicara keras atau berperilaku ramai hanya akan menghabiskan energi (Handayani & Novianto, 2004:125).

Begitulah watak masyarakat di desa Sukolilo, yang tidak dapat dipisahkan dengan tradisi. Upacara tradisi Meron di Sukolilo diadakan pertama kali pada masa pemerintahan Kasultanan Mataram (awal abad 17). Desa Sukolilo berada di bawah kekuasaan Kadipaten Pati Pesantenan yang dipimpin oleh Bupati Wasis Jaya Kusuma. Demang Sukolilo pada saat itu adalah Sura Kerto yang merupakan salah satu dari lima bersaudara. Kelima bersaudara itu antara lain: Sura Kadam, Sura Kerto, Sura Yuda, Sura Dimeja, dan Sura Nata. Karena kelimanya semuanya laki-laki, maka disebut Pandawa Lima yang merupakan keturunan dari kerajaan Mataram.

Tradisi Meron merupakan kegiatan mengarak gunungan menuju halaman Masjid Sukolilo. Sebelum tahun 1971, upacara diadakan di pasar Sukolilo. Acara ini dilaksanakan setiap Maulud Nabi Muhammad SAW. Gunungan dipersiapkan oleh perangkat desa yang telah disepakati dalam kepanitian. Gunungan tersebut terbuat dari bahan ketan yang dirangkai sesuai dengan ketentuan tradisi yang ada. Bahan ketan tersebut dibuat ampyang (rengginang), cucur, dan once (ampyang yang dibuat kecil-kecil kemudian dironce sebagai lambang bunga melati). Para tetangga dan kerabat dari segenap perangkat desa bekerjasama dalam membuat gunungan. Jumlah gunungan tidak boleh kurang dari 12. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila kurang dari 12 akan mendatangkan malapetaka.
Bentuk Eksistensi

Tradisi merupakan gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan.

Meski masyarakat desa Sukolilo, tidak menolak perubahan tetapi mereka bisa menempatkan diri dan mempertahankan budaya mereka. Mereka tetap melakukan kontak dengan budaya lain, menganut sistem pendidikan formal yang maju, dan mempunyai sistem terbuka masyarakat (Open Stratification). Bagi sebagian masyarakat tidak dapat melakukan hal tersebut, tetapi berbeda dengan masyarakat sukolilo yang terbilang sukses mempertahankan diri dari arus global dengan tidak menghindarinya.

Bentuk eksistensi masyarakat adat yang berada di desa Sukolilo tepatnya di kabupaten Pati ini adalah melalui tradisi meron, yang merupakan salah satu upaya penolakan pemberangusan. Mereka mempunyai cara tersendiri untuk tetap eksis, meski zaman telah berubah. Salah satu cara yang digunakan melalui Tradisi yang tetap keukeuh dipertahankan dari zaman dulu hingga sekarang yakni Tradisi Meronan. Dan dalam realitanya sudah dapat dilihat bahwa sistem dan nilai-nilai yang selama ini hidup dan dipraktikkan masyarakat desa Sukolilo ternyata lebih bisa memberikan daya immun (tahan) bagi anggota masyarakat.

JM

JM
Powered By Blogger

Halaman

 

© 2013 JARENE MBAHE. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top