Rabu, 20 Februari 2013

Sejarah Keraton Kasunanan Surakarta


Penembahan Senopati yang waktu mudanya bernama Sutowijoyo memerintah di Mataram dari tahun 1585 sampai dengan tahun 1601. Pada tahun 1601 Raden Mas Jolang yang bergelar Susuhunan Hadi prabu Hanyakrawati menggantikan sebagai raja Mataram sampai dengan tahun 1913. setelah Susuhunan Hadi Prabu Hanyakrawati meninggal beliau digantikan oleh Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma, yang memerintah mulai tahun 1613 sampai tahun 1945. Pada saat pemerintahan Sultan Agung, keraton Mataram berada dalam puncak kejayaan. Karena banyak raja-raja yang ditaklukkan, yaitu raja-raja pesisir Utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Kalimantan Barat, Madura, Surabaya dan Cirebon.
Sultan Agung merupakan figur raja yang taat kepada agama Uslam dan tidak senang pada Belanda yang berada di tanah Jawa. Sultan Agung mempunyai cita-cita untuk menguasai seluruh pulau Jawa. Namun cita-cita Sultan Agung untuk menguasai seluruh pulau Jawa gagal. Karena pada waktu itu terdapat tiga kekuatan politik yaitu Mataram, Banten dan VOC di Batavia.
Rasa tidak senang dari Sultan Agung pada Belanda tersebut dapat kita lihat pada usaha Sultan Agung yang dua kali menyerang VOC di Batavia, sebagai pusat pemerintahan Belanda di Jawa. Tetapi usaha tersebut gagal karena terjangkitnya wabah penyakit dan kurangnya bahan pangan karena lumbung padi dibakar oleh Belanda. Sebagai rasa hormat dari pemerintah Indonesia yang sekarang telah merdeka maka Sultan Agung mendapatkan penghargaan sebagai salah satu Pahlawan Nasional yang berusaha mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Pada saat pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, beliau banyak menjalin hubungan yang bersifat ekonomis dan politik dengan daerah-daerah lain. Bukti kerjasama tersebut dalam bidang ekonomi adalah Palembang dan Jambi menggantungkan kebutuhan berasnya dari Mataram. Karena rakyat di Palembang dan Jambi lebih suka menanam lada daripada padi. Juga pada tahun 1641 Mataram menjalin hubungan dengan bangsa Portugis di Malaka, Mataram mengirim beras ke Portugis di Malaka sedang bangsa Portugis di Malaka menyediakan keperluan sandang dan keperluan-keperluan perang Mataram. Sedangkan bukti kerjasama dalam bidang politik yaitu memberikan perlindungan kepada Palembang dan Jambi agar terhindar dari Expansi Aceh dan Banten. Yang kemudian perlindungan itu berakhir pada tahun 1642, pada saat armada Mataram dihancurkan oleh armada VOC di dekat Palembang. Bahkan sultan Agung Hanyakrakususma juga menjalin hubungan dengan pusat agama Islam di Mekkah, berkat hubungan tersebut beliau memperoleh gelar Sultan (Soewarso, 1985 :45).
Di zaman ini juga kebudayaan mengalami perkembangan yang pesat. Hasil kebudayaan Mataram menunjukkan adanya perpaduan antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Hindu dan Budha pada saat itu mempunyai pengaruh yang sangat besar dan kuat terhadap kebudayaan asli Jawa.
Pada tahun 1645 Sultan Agung Prabu Hanyakrakusuma meninggal kemudian beliau digantikan oleh Susuhunan Amangkurat I atau Amangkurat Agung yang memerintahkan mulai tahun 1645. berbeda dengan Ayahnya Susuhunan Amangkurat I bukan sebagai seorang raja yang bijaksana dan berwibawa, tetapi seorang raja yang bertangan besi dan bersahabat dengan VOC/Belanda, sehingga banyak ulama dan para bangsawan yang tidak senang kepada Amangkurat I. Sikap Amangkurat dalam menjalankan pemerintahan dengan tangan besi dan berusaha menggenggam seluruh kekuasaan tersebut terbukti pada masa itu para ulama dan sebagian rakyat dikejar-kejar, bahkan ribuan yang dihukum mati, karena mereka menentang politik Amangkurat I yang menjalin kerjasama dengan VOC. Para ulama yang berpengaruh besar terhadap rakyat, dianggap menyaingi kedudukan dan kekuasaannya.
Cara Kejam Amangkurat I untuk mematahkan kekuasaan para ulama yang selalu menentang Belanda ternyata tidak berhasil. Para ulama terus menyusun kekuasaan, dibawah Sunan Giri, para ulama akhirnya bangkit sentak untuk mematahkan kekuasaan Amangkurat I. Sikap Amangkurat I terhadap raja-raja taklukan sangat kerja. Mereka yang dianggap membahayakan Mataram, selalu dipecat dan digantikan dengan bangsawan Mataram yang telah jelas-jelas taat dan setia kepadaanya. Bahkan raja raklukan tersebut banyak yang dibunuh. Oleh sebab itu lambat laun timbul rasa tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I. Para bangsawan Mataram yang tidak puas terhadap pemerintahan Amangkurat I tersebut justru dipimpin oleh Adipati Anom (Putra Mahkota) yang bersekutu dengan Trunojoyo. Akhirnya terjadi pemberontakan terhadap Mataram yang dipimpin oleh Trunojoyo yang bersekutu dengan Adipati Anom dan para bangsawan Mataram serta para ulama.
Mataram dapat direbut oleh Trunojoyo, sedang Amangkurat I beserta pengikutnya meninggalkan Mataram hendak minta bantuan kepada VOC di Batavia. Amangkurat I menunjuk Adipati Anom untuk menyerang Trunojoyo, tetapi Adipati Anom tidak bersedia, karena dia bersekutu dengan Trunojoyo. Dengan berbekal tumbal Kyai Pleret milik Amangkurat I. serangan Pangeran Puger terhadap Trunojoyo berhasil melumpuhkan kekuatan pasukan Trunojoyo. Perjalnan Amangkurat I ke Batavia sampai di Tegal Arum. Di tempat tersebut Amangkurat I meninggal. Setelah Amangkurat I meninggal, Adipati Anom menjadi bingung karena tumbak Kyai Pleret yang menjadi simbol kerajaan Mataram berada di tangan Pangeran Puger.
Adipati Anom tidak meneruskan perjalanan ke Batavia, melainkan meminta bantuan kepada VOC di Jepara. Adipati Anom bersedia meluluskan apa saja yang diminta VOC asakan dia dapat menjadi raja Mataram. Berkat Bantuan VOC Trunojoyo dapat dikalahkan dan Adipati Anon menggantikan Amangkurat I menjadi raja Mataram pada tahun 1677 bergelar Amangkurat II. Dengan bertahtanya Amangkurat II berarti kekuasaan Mataram telah mulai dirongrong oleh Belanda.
Pada saat pemerintahan Sunan Amangkurat II, karena keraton Mataram sudah rusak akibat pemberontakan Trunojoyo, maka Sunan Amangkurat II melanjutkan pemerintahan di Kartasura pada tahun 1703. setelah beliau wafat digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat III atau Amangkurat Mas. Sebelum Amangkurat II meninggal beliau berpesan kepada Amangkurat III agar berhati-hati terhadap pamannya yaitu Pangeran Puger. Pangeran Puger merasa jengkel karena dialah sebenarnya yang berhak menjadi raja. Untuk menghilangkan kejengkelan hati Pangeran Puger, maka Amangkurat III dikawinkan dengan anak perempuan Pangeran Puger.
Amangkurat III ternyata bersifat suka main perempuan, sehingga sering terjadu pertengkaran dengan istrinya, yang berakhir dengan perceraian. Anak Pangeran Puger yang menjadi istrinya dikembalikan kepada Pangeran Puger yang sudah barang tentu membuat sakit Pangeran Puger. Sebagai raja, Amangkurat III merasakan betapa berat dan kuatnya pengaruh VOC terhadap negaranya. Oleh sebab itu, Amangkurat III hendak melepaskan Mataram dari belenggu VOC terhadap negaranya. Para bangsawan yang nyata-nyata memihak kepadas VOC segera bertindak. Banyak diantaranya yang dipecat. Sikap Amangkurat III tersebut banyak mendapat tantangan dari segolongan bangsawan di lingkungannya. Situasi politik itu sangat menggembirakan Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang sejak semula ingin menjadi raja.
Dengan segolongan kaum bangsawan yang tidak senang pada Amangkurat III, Pangeran Puger mengadakan perbutan kekuasaan yang akhirnya dapat digagalkan Pangeran Puger lari ke Semarang meminta bantuan kepada VOC. Dengan senang hati VOC menerima Pangeran Puger. VOC bersedia membantu Pangeran Puger untuk merebut tahta Mataram, karena Amangkurat III menentang VOC, setelah Pangeran Puger menandatangani perjanjian untuk memberi hadian kepada VOC, VOC mengangkat Pangeran Puger sebagai Sunan di Kartasura dengan gelar Sunan Paku Buwono I. Pada tahun 1705 pasukan VOC dan pengikut-pengikut Pangeran Puger merebut Kertasura. Dengan demikian Sunan Amangkurat II bertahta hanya 2 tahun dari tahun 1703 sampai dengan tahun 1705, sedangkan Sunan Paku Buwono I, bertahta di Kartasura sejal tahun 1705 sampai dengan 1719. Sebagai balas jasa VOC yang telah menduduki dirinya sebagai raja di Kartasura, Paku Buwono I menyerahkan daerah Priangan, Cirebon dan Madura Timur kepada VOC. Disamping itu setiap tahunnnya Kartasura bersedia mengirimkan sejumlah beras ke Batavia. Sejak saat itu pengaruh kekuasaan VOC di Kartasura semakin besar.
Setelah Paku Buwono meninggal, beliau digantikan oleh Susuhunan Prabu Amangkurat IV atau Sunan Amangkurat Jawi atau Sunan Prabu. Amangkurat IV bertahta di Kartasura dari tahun 1917 sampai dengan tahun 1727. kemudian beliau digantikan oleh Sunan Buwono II, mulai tahun 1927. pada tahun 1742 orang-orang Cina pelarian dari Batavia bekerja sama dengan Mas Garendi. Mas Garendi adalah Cucu Sunan Mas. Mas Garendi bertahta di Katasura dengan gelar Amangkurat V, beliau bersikap melawan Belanda. Sedang Sunan Paku Buwono II meminta bantuan VOC. Setelah beliau menadatangani tentang imbalan yang akan diberikan VOC, kemudian VOC menyerang Mas Garendi untuk merebut Kartasura. Setelah kekuasaannya hancur, Mas Garendi menyerah kepada VOC. Selanjutnya beliau dibuang ke Srilangka. Berkat bantuan VOC, Sunan Paku Buwono II bertahta kembali di Kartasura. Seperti halnya Mataram, Keraton Kartasura rusak karena perbuatan Raden Mas Garendi. Menurut kepercayaan kuno di Jawa, bila keraton sebagai pusat kejayaan dan kebebasan sebuah kerajaan telah diduduki atau dirusak oleh tangan tangan kotor, tiba saat untuk membangun sebuah istana yang baru (Wibisono, 1980 :2).
Di Kartasura Sunan Paku Buwono II mengemukakan keinginannya untuk memindahkan Keraton Kartasura yang sudah rusak. Pada saat itu Baginda Sunan Pakubowono II sedang diliputi kesedihan karena baru saja kedatangan utusan VOC bernama Hogendrop yang membicarakan pelaksanaan beberapa permintaan VOC sangat merugikan Keraton Kartasura, sebagai imbalan kepada VOC yang telah membantu Paku Buwono II merebut tahta kembali Kartasura.
Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa seluruh pantai utara Pulau Jawa dan seluruh pulau Madura diserahkan kepada VOC. Penyerahan wajib yang berupa hasil bumi diperbesar jumlahnya. Patih dan Bupati hanya dapat ditetapkan oleh Sunan bersama-sama dengan VOC. Baginda lalu menyerahkan dan memberikan persetujuan kepada Van Hogendrop untuk menghubungi pepatih Raden Tumenggung Pringgolo dan Sindurejo. Mereka meninjau sendiri daerah sekita Kartasura. Mereka melepaskan lebah di bawah sebuah pohon rindang di desa Sala, Mayor Van Hogendrop mengusulkan Sala sebagai pusat pemerintahan Kartasura. Dengan alasan apabila raja ingin mendatangkan kayu jati dari hutan selatan akan mudah karena tidak kekurangan orang juga tidak kekurangan beras yang dapat didatangkan dari Ponorogo. Tetapi kedua Patih menolak dengan alasan Sala daerahnya rendah, kalau hujan akan terendam air. Tetapi dilihat letaknya Sala berada di tepi sebuah sungai besar, strategis sekali dan mudah didatangi dari pantai bila keadaan memaksa. Akhirnya Keraton Kartasura Hadiningrat dipindahkan ke Surakarta Hadiningrat pada tahun 1748. Pada tahun 1749 Sunan Paku Buwono II sakit dan kemungkinan sehat kembali sangat kecil. Keraton Surakarta merupakan kelanjutan dari Keraton Mataram yang pada tahun 1677 padas hakekatnya telah runtuh akibat pemberontakan Trunojoyo. Berkat bantuan VOC Keraton yang telah runtuh itu dihidupkan kembali dengan aneka ragam perjanjian. Sedangkan raja-raja yang memerintah selanjutnya tidak lebih hanyalah sebuah boneka yang dikendalikan oleh Belanda. Paku Buwono II meninggal pada tanggal 20 Desember 1749 dan digantikan oleh Sunan Paku Buwono III yang memerintah dari tahun 1949 sampai dengan tahun 1788. penyerahan Keraton Surakarta kepadas VOC dan pengangkatan Paku Buwono III sebagai sunan tidak disetujui oleh Pangeran Mangkubumi. Karena bagian tanah bengkok yang milik Pangeran Mangkubumi dikurangi oleh Belanda.
Pada saat yang bersamaan di Yogyakarta Pangeran Mangkubumi dinobatkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai Sultan Yogyakarta dengan gelar Hamengkubuwono. VOC tidak mau mengakuinya. Oleh karena itu berlawanan menentang Belanda diteruskan. Sejak saat itu Keraton Surakarta Hadiningrat merupakan kelanjutan dari Mataram pecah menjadi dua. Yaitu Yogyakarta dengan Hamengku Buwono yang melawan VOC dan di Surakarta dengan Hamengku Buwono III yang menjadi antek VOC. Setelah Paku Buwono III meninggal, beliau digantikan oleh Susuhunan Paku Buwono IV dari tahun 1788 sampai dengan tahun 1820. kemudian Susuhunan Paku Buwono V menggantikannya dari tahun 1820 sampai dengan tahun 1823. selanjutnya Susuhunan Paku Buwono VI berusaha untuk melawan sehingga beliau dibuang oleh Belanda ke Ambon. Sebagai penghargaan dan rasa hormat kepada Sunan Paku Buwono VI maka pemerintah Indonesia memberi penghargaan sebagai Pahlawan Nasional.
Pengganti Sunan Paku Buwono adalah Susuhunan Paku Buwono VII, salah seorang putra dari Sunan Paku Buwono IV, yang bertahta dari tahun 1830 sampai dengan tahun 1858. sebagai gantinya adalah salah seorang lagi putra dar Sunan Paku Buwono IV yang bergelar paku Buwono VIII, bertahta dari tahun 1858 sampai dengan tahun 1861. Pada tahun 1861 sampai dengan 1893 pemerintah dipegang oleh Susuhunan Paku Buwono IX. Setelah beliau meninggal digantikan oleh Paku Buwono X yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Minulya Saha Ingkang Wicaksono Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati Ing Ngalolo Ngabdulrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah Ingkang Kaping X (Volks Almanah Djawi, 1937 : 25).
Pada saat pemerintahan Sunan Paku Buwono X, beliau menciptakan lambang keraton Kasunanan Surakata. Bentuk lambang yang diciptakan oleh Susuhunan Paku Buwono X tersebut adalah sebagai berikut :
  • Gambar Matahari di sebelah kanan – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Suryo
  • Gambar Bulan di sebelah kiri – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Sasongko
  • Gambar di sebelah atas – melambangkan putra dari Paku Buwono I yang bernama R.M. Gusti Sudomo
  • Gambar Bola dunia sebelah bawah yang terdapat paku pada kutup atas (GPH, Broto, 1980 : 18) – melambangkan raja Kasunanan yang bergelar Paku Buwono.
Dari keempat lambang tersebut tidak keterangan tentang keistimewaan mereka, sehingga mereka dipakai sebagai lambang. Keempat benda tersebut dapat dalam sebuah perisai yang berbentuk bulat telur yang posisinya tegak. Hal tersebut melambangkan terwujudnya kemanunggalan yang kokoh dan kuat yang terlindung dari perisai. Pada bagian atas perisai tersebut terdapat mahkota raja, di bawah pengayoman Sri Susuhunan. Di seputar perisai di lingkari oleh untaian kapas dan sewuli (Sebutir padi) hal tersebut melambangkan agar rakyatnya hidup berkecukupan, adil makmur baik sandang maupun pangan.
Lambang Keraton Kasunanan Surakarta terdapat persamaan dengan lambang-lambang negara kita yaitu Garuda. Sunan Paku Buwono X bertahta dari tahun 1893 sampai dengan 1939. kemudian pada tahun 1939 sampai dengan tahun 1945 beliau meninggal digantikan oleh Susuhunan Paku Buwono XII pada tahun 1945 sampai sekarang. Raja-raja kasunanan Surakarta sangat memperhatikan kebudayaan Jawa hingga saat ini walaupun kedudukan raja tidak seperti dulu, tetapi adat kebudayaan Jawa tetap dijaga dan dilestarikan. Hal tersebut dapat kita lihat pada setiap kirap pusaka I sura. Grebeg Mauludan dan upacar perkawinan di Keraton Kasunanan Surakarta.
Fungsi Keraton Kasunanan Surakarta
Pada waktu lampau ketika negara Sri Wijaya di Sumatra dan Majapahit di Jawa berjaya, seolah-olah merupakan mercusuar yang menjadi pandu seluruh negara-negara Asia Tenggara. Keraton merupakan pusat masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Keraton merupakan pusat kegiatan politik, pusat kegiatan keagamaan dan kebudayaan (Santoso, 1990:3).
Bukti keraton sebagai kegiatan politik, telah tampak dengan jelas bahwa raja yang berkuasa dan pemerintah merupakan tokoh sentral dari segala kegiatan politik. Sehingga timbul kepercayaan bahwa raja adalah dewa yang menjelma di dunia. Sedangkan Keraton sebagai pusat kegiatan keagamaan, hal ini jelas terlihat pada segala kegiatan upacara keagamaan yang selalu dipusatkan di Keraton, seperti upacara Grebeg Mauludan dan Upacara sesaji menurut agama Hindu pada waktu itu. Keraton berfungsi sebagai pusat kebudayaan. Sebagian besar sumber dan pendorong timbulnya kebudayaan berasal dari Kerton, bahkan pada masa itu raja menjadi pelindung dari para hali-ahli kebudayaan yang hidup pada zamannya (Santoso 1990 :4)
Dari berbagai fungsi dan kedudukan Keraton pada masa lampau sebenarnya tidak lepas dari fungsi dan kebudayaan raja yang berhak menentukan segala sesuatu hal yang dikehendakinya. Fungsi keraton dalam masa kemerdekaan sekarang ini dalam buku DR. Soewito Santosa 1990 :5 yang berjudul Sultan Abdul Kamit Hurucakra Kalifah rasullah di Jawa berpendapat bahwa :”Kebijaksanaan Sri Susuhan PB XII dalam memberi ijin kepada kami tersebut diatas memungkinkan kembalinya Keraton kepada fungsinya yang lama, kami maksudkan fungsinya sebagai konservator adat istiadat dan penyimpanan benda-benda kebudayaan, termasuk khasanah kasustraan. Yang dimaksud dengan memberi ijin kepada kami tersebut diatas adalah memberi ijin dari Sultan PB XII kepada DR. Soewito Santoso dalam mempergunakan buku-buku yang terdapat di Sonopustoko, sebagai sumber penulisan bukunya yang berjudul Sultan Abdul Kamit Herucakra Kalifah Rasulullah di Jawa. Fungsi Keraton pada masa sekarang adalah sebagai tempat penyimpanan benda-benda kebudayaan, yang dapat mendatangkan para wisatawan melihat secara langsung tentang peninggalan benda-benda kebudayaan pada waktu itu.
Pada masa sekarang ini raja yang berkuasa di Keraton Kasunanan Surakarta mempunyai peranan dan kedudukan dalam lingkup keraton sebagai pengageng Keraton. Juga sebagai warga negara Indonesia dan tidak berhak untuk menentukan sesuatunya. Karena memegang kekuasaan pemerintahan Indonesia sekarang ini ada pada Presiden bukan pada raja. Juga fungsi Keraton sebagai pusat keagamaan. Pada masa sekarang ini tidak seperti masa lampau. Pusat kegiatan-kegiatan pada masa sekarang bernaung di bawah Departeman Agama, yang dikepalai oleh Menteri Agama.
Silsilah Raja Kasunanan Surakarta
Keraton Kasunanan Surakarta berdiri pada tahun 1745 hingga sekarang. Sejak tahun 1745 sampai sekarang Keraton Kasunanan Surakarta secara berturut-turut diperintah oleh sebelas raja Kasunanan antara lain :
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB II ( 1745 – 1749)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB III ( 1749 – 1788)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IV ( 1788 – 1820)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB V ( 1820 – 1823)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VI ( 1823 – 1830)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VII ( 1830 – 1858)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB VIII ( 1858 – 1861)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB IX ( 1861 – 1893)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X ( 1893 – 1939)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB XI ( 1939 – 1945)
  • Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhan PB X II ( 1945 – Sekarang)
Kesimpulan
  • Dalam menyelesaikan karya penelitian ini penulis dapat menarik beberapa kesimpulan, diantaranya :
  • Keraton Surakarta berdiri pada tanggal 27 Februari 1945 atas prakarsa Ingkang Sinuhun Paku Buwono II, Keraton Surakarta merupakan perpindahan Keraton Kartasura yang namanya diganti menjadi Wanamarta
  • Keraton Kasunanan Surakarta telah diperintah oleh Raja Ingkang Sinuhun Paku Buwono II sampai Paku Buwono XII
  • Keraton Kasunanan Surakarta mengalami kejayaan masa perintah Ingkang Sinahun Kanjeng Susuhunan Paku Buwono X
  • Museum Keraton Surakarta terdiri dari 9 ruangan yang masing-masing ruangan rerdapat benda-benda purba kala yang bersejarah
  • Keraton Surakarta dapat dikatakan sebagai sumber devisa negara dan budaya bangsa dari Jawa Tengah

Sejarah Kraton Yogyakarta


Sejarah Keraton YogyakartraDaerah Istimewa Yogyakarta yang sarat dengan pariwisata budayanya mengandung sejarah yang sangat panjang. Salah satu ikon budaya yang sarat denmgan sejarah adalah kraton Yogyakarta. Sejarah politik masa lalu sudah berlangsung ratusan tahun sebelum tahun kemerdekaan republik Indonesia.
Keraton Yogyakarta mulai didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pascaPerjanjian Giyanti pada tahun 1755. Lokasi keraton ini konon adalah bekas sebuah pesanggarahan yang bernama Garjitawati.
sejarah keraton yogyakarta 300x198 Menelisik Sejarah Keraton Yogyakarta
Dan berikut ini untaian sejarahnya :
- Pada Tahun 1558 M Ki Ageng Pemanahan dihadiahi wilayah Mataram yang masih kosong oleh Sultan Pajang atas jasanya mengalahkan Arya Penangsang. Ki Ageng Pemanahan adalah putra Ki Ageng Ngenis atau cucu Ki Ageng Selo tokoh ulama besar dari Selo kabupaten Grobogan.
- 1577 Ki Ageng Pemanahan membangun istananya di Pasargede atau Kotagede. Selama menjadi penguasa Mataram ia tetap setia pada Sultan Pajang.
1584 Beliau meninggal dan dimakamkan di sebelah barat Mesjid Kotagede. Sultan Pajang kemudian mengangkat Sutawijaya, putra Ki Ageng Pemanahan sebagai penguasa baru di Mataram. Sutawijaya juga disebut Ngabei Loring Pasar karena rumahnya di sebelah utara pasar.
Berbeda dengan ayahnya, Sutawijaya tidak mau tunduk pada Sultan Pajang. Ia ingin memiliki daerah kekuasaan sendiri bahkan ingin menjadi raja di seluruh Pulau Jawa.
- 1587 pasukan Pajang yang akan menyerbu Mataram porak-poranda diterjang badai letusan Gunung Merapi. Sutawijaya dan pasukannya selamat.
- 1588 Mataram menjadi kerajaan dengan Sutawijaya sebagai Sultan bergelarSenapati Ingalaga Sayidin Panatagama artinya Panglima Perang dan Ulama Pengatur Kehidupan Beragama. Sebagai dalih legitimasi kekuasaannya, Senapati berpendirian bahwa Mataram mewarisi tradisi Pajang yang berarti bahwa Mataram berkewajiban melanjutkan tradisi penguasaan atas seluruh wilayah Pulau Jawa.
- 1601 Panembahan Senapati wafat dan digantikan putranya, Mas Jolang yang kemudian dikenal sebagai Panembahan Seda ing Krapyak.
- 1613 Mas Jolang wafat kemudian digantikan oleh Pangeran Arya Martapura. Tetapi karena sering sakit kemudian digantikan oleh kakaknya Raden Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senapati Ingalaga Abdurrahman dan juga terkenal dengan sebutan Prabu Pandita Hanyakrakusuma.
Pada masa Sultan Agung kerajaan Mataram mengalami perkembangan pada kehidupan politik, militer, kesenian, kesusastraan, dan keagamaan. Ilmu pengetahuan seperti hukum, filsafat, dan astronomi juga dipelajari.
- 1645 Sultan Agung wafat dan digantikan putranya Amangkurat I.

Senin, 18 Februari 2013

Asal-Usul Kabupaten Pati



Pati adalah salah satu kota yang terletak di Propinsi Jawa Tengah. Kota ini menyimpan misteri yang agak sulit untuk diungkap seluruhnya. Pernah menjadi bagian dari Kerajaan Majapahit, membuat asal usul Kota Pati menjadi sedikit samar. Kabupaten yang namanya sama dengan ibukotanya ini termasuk dalam wilayah Pantura (Pantai Utara) dengan batas-batas kabupaten yang menjadi saksi sejarah munculnya kadipaten dan kerajaan di kemudian hari.

Sebelah utara ada Laut Jawa. Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Blora terletak di sebelah selatannya. Sebelah timur diisi oleh Kabupaten Rembang. Barat berbatasan dengan Kabupaten Kudus dan Jepara.

Legenda rakyat telah membentuk sejarah Kota Pati. Dahulu, Pulau Jawa sempat mengalami kekosongan pemerintah setelah runtuhnya Kerajaan Singosari. Kemudian, muncullah penguasa baru yang berasal dari wilayah Pantai Utara atau sekitar Gunung Muria sebelah timur yang mengangkat dirinya sendiri sebagai adipati yang menguasai sebuah kadipaten.

Saat itu terdapat dua penguasa, yaitu Adhipati Yudhapati dan Kadipaten Paranggaruda yang wilayahnya meliputi Kabupaten Grobogan dan Puspa Andungjaya dari Kadipaten Carangsoka yang wilayahnya meliputi Pantai Utara hingga Kabupaten Rembang.

Kedua adipati itu berniat menikahkan putra-putri mereka. Di tengah pesta pernikahan, Rara Rayungwulan, putri dari Puspa Andungjaya malah melarikan diri dengan dalang yang menghibur disana. Terjadilah kekacauan dan peperangan.

Mereka yang berasal dari Paranggaruda mati dengan membela kehormatan. Patih Carangsoka, Raden Kembangjaya, yang berjasa kemudian dinikahkan dengan Rara Rayungwulan. Sementara, sang dalang malah dijadikan sebagai patihnya.

Pemerintahan terus dilanjutkan di bawah kepemimpinan Kembangjaya. Setelah memperluas wilayah kekuasaan Kadipaten Pesantenan hingga ke selatan, ia wafat dan digantikan oleh anaknya, Raden Tambranegara yang kemudian memindahkan kadipaten ke barat dan mengganti namanya menjadi Kadipaten Pati.

Raja Jayanegara dari Majapahit setiap tahunnya meminta upeti berupa bunga pada Adipati Raden Tambranegara agar kekuasaan kadipaten tersebut mendapat status dari Kerajaan Majapahit. Kisah ini terdapat dalam Kitab Babad Pati.


Sumber : http://www.anneahira.com/asal-usul-kota-pati.htm



ASAL MULA TERJADINYA KABUPATEN PATI (BABAD PATI): YUYU RUMPUNG KRODHA


Download Kethoprak Kerido Carito, Yuyu Rumpung Krodha
  1. Yuyu Rumpung Krodha_1
  2. Yuyu Rumpung Krodha_2
  3. Yuyu Rumpung Krodha_3
  4. Yuyu Rumpung Krodha_4
  5. Yuyu Rumpung Krodha_5
  6. Yuyu Rumpung Krodha_6
  7. Yuyu Rumpung Krodha_7
  8. Yuyu Rumpung Krodha_8
  9. Yuyu Rumpung Krodha_9

CERITA SYEH JANGKUNG



Saridin anak angkat Ki Ageng Kingiran, ia mempunyai satu saudara perempuan bernama Sumiyem,[1] putri Ki Ageng Kingiran memang mendambakan seorang adik laki-laki. Mereka berdua hidup rukun dibawa asuhan Ki Ageng Kiringan. Setelah dewasa Sumiyem diperistrikan oleh seorang laki-laki bernama Branjung, sedangkan Saridin dikawinkan dengan gadis bernama Sumirah. Ki Ageng Kingiran sudah tua, tidak meninggalkan apa-apa kecuali pohon Durian. Ki Ageng Kingiran berpesan,

“besuk saya bakal tidak ada, karena hanya meninggalkan satu batang pohon durian, lalu bagaimana membaginya?”. Lalu diputuskan kalau siang bagiannya Branjung sedang kalau malam bagiannya Saridin. Bila ada yang jatuh siang menjadi rejeki Branjung sedangkan kalau jatuh malam hari maka rejekinya Saridin. Ternyata durian tadi kalau siang tidak ada yang jatuh. Sedangkan kalau malam banyak yang jatuh. Branjung mulai merasa iri hatinya dan timbul dalam pikirannya ingin menyamar menjadi harimau untuk menakut-nakuti Saridin. Setelah merubah dirinya menjadi harimau maka segera memanjat pohon durian, saridin tahu kalau ada harimau di pohon durian segera ditombak kena dan mati. Setelah harimau mati, berubah lagi menjadi manusia. Maka kemudian Saridin telah melakukan pembunuhan atau Rajapati, maka oleh petinggi Kemiri dilaporkan pada Adipati Mangun Oneng. Saridin didakwa telah melakukan pembunuhan. Saridin mengelak tuduhan,
“saya tidak melakukan pembunuhan, saya hanya membunuh harimau”. Sumiyem saudara Saridin menggerutu
“eh..aku hanya mempunyai saudara satu saja terkena perkara besar”, maka ia mempunyai nadzar, bila nanti Saridin dapat kembali akan membuat cempedak dikasih asahan sak ambeng, kalau bisa kembali hidup.
Petinggi Kemiri berkunjung ke rumah istri Branjung, yang sedang seorang diri, karena diam-diam dia mencintainya (ada rasa). Karena Saridin orang sakti yang dapat merintangi keinginannya maka dia melapor kepada Dipati Mangun Oneng agar menghukum mati Saridin.[2] Dipati Mangun Oneng menyuruh Suro Gajah untuk melaksanakan hukuman mati tersebut.
“Kang Suro Gajah ini ada tugas untuk membawa Saridin ke hutan kemudian bunuh Saridin”
“lho aku tidak punya salah sama kamu kok, aku punya salah hanya sama gusti Dipati, kenapa kau harus membunuhku”
“Gak peduli pokoknya kamu harus aku bunuh” saridin ganti bertanya
“ Upamanya nanti saya tidak mau gimana apa boleh?
”Boleh, ini rasakan senjataku” Saridin tidak apa-apa gantian ia menagih janji, lalu dipukulah Suro Gajah oleh Saridin dan mati
“Nanti kalau tempat ini ramai akan kuberi nama Gajah Mati”
Petinggi Kemiri mengejar Istri Branjung, karena mengira Saridin sudah mati, adipati Mangun Oneng memanggil para punggawanya dan memerintahkan agar Saridin dihukum hari ini. Karena saktinya tahu-tahu Saridin muncul ketika Petinggi Kemiri hendak masuk ke kamar istri Branjung, petinggi segera melapor kepada Adipati. Dengan lembut para punggawa datang ke rumah Saridin,menyatakan
“Din karena kamu orang bersalah maka saya datang memberikan kesukaanmu, karena kebetulan saat ini ada rumah besar kosong maka kau boleh menempatinya, kalau kau ingin pulang kau bisa dipersilahkan, segala kebutuhanmu disediakan dan sudah ada yang disuruh.” Bujuk Adipati Mangun Oneng.
“ Ya..saya suka begitu “ Jawab Saridin
Saridin menjalani hukuman, petinggi Kemiri Kecewa,
“lha disuruh membunuh saja tidak mau” maka punya akal lagi, ia lapor ke Adipati Mangun Oneng, kalau Saridin tidak dihukum mati nanti akan berbahaya terhadap Kadipaten Pati.
Petinggi Kemiri setelah tahu Saridin ada di penjara maka mendatangi rumah istri Branjung. ternyata kelakuannya diketahui oleh Saridin lagi, karena dia sudah ada di rumah. Petinggi lapor lagi kepada Adipati kalau Saridin keluar dari Pakunjaran
“Ah masak iya, kowe ojo ngawur! Saridin sudah saya masukan ke Penjara..!”
Akhirnya Saridin dikejar-kejar sama orang-orang Pati. Saridin kemudian minggat dan minta restu kakaknya Sumiyem, Saridin minta dido’akan agar selamat. Sumiyem merestui kepergian Saridin, akan ketempat orang digdaya yakni Sunan Kudus, Saridin akan berguru dan menetap di Panti Kudus.[3]
“ Kamu siapa ?”
“Saya saridin.”
“Rumahmu mana ?”
“Saya dari Pati, ingin berguru dipadepokan Panti Kudus ”
“ Oh ya sudah, kalau gitu sana bekerja sama teman-temanya di belakang ”
Saridin ke belakang untuk bekerja, bersama dengan teman-teman seperguruan, akan tetapi semua pekerjaan telah di kerjakan oleh teman-temannya, Saridin dicuekin sama teman2nya, sehingga kebingungan mau kerja apa. Saridin melihat teman2nya membawa ember untuk mengisi bak mandi. Ia mau membantu temannya, namun embernya sudah kepakai semua, akhirnya Saridin melihat Keranjang untuk mencari rumput. Kemudian Saridin mengambil air dengan keranjang. Hal ini membuat temannya melaporkan kepada Sunan Kudus.
“ Din kenapa kamu mengambil air dengan keranjang, bukankah airnya bocor ” seketika airnya jatuh dari keranjang
“Tidak kanjeng Sunan ” airnya kembali ke keranjang.
“Bocor” Sunan Kudus membentak
“Tidak bocor” hal ini dilakukan sampai tiga kali antara Sunan Kudus dengan Saridin. Sunan Kudus bersikap arif terhadap Saridin.
“ya, sudah Din, kamu tidak usah mengambil air biar teman2mu yang mengerjakannya, kamu membersihkan kubangan air dibelakang biar lancar airnya.”
Saridin menuruti perintah Sunan Kudus, namun Saridin masuk ke dalam kubangan dengan tangannya mengapai dasarnya. Hal ini menjadi perhatian Sunan Kudus.
“ Din kamu kesini mau mengabdi sama saya, kok saya suruh bekerja kok gak mau! Kamu cari apa Din?”
“cari ikan”
“Lho disitu gak ada ikannya Din?”
“Kalau ada air pasti ada ikannya!”
“Kalau gitu di bak mandi dan tempat wundu apa ada ikannya Din?”
“ada, setiap ada air pasti ada ikannya!” sahut Saridin dan ternyata di bak mandi terdapat ikan.
“Kalau di buah kelapa yang diatas itu apa ada ikannya Din?” Saridin menengok ke atas pohon kelapa yang sangat tinggi.
“Ya, ada kanjeng sunan!” Kanjeng Sunan memerintahkan muridnya untuk memanjat pohon kelapa, tapi di tahan oleh Saridin biar Saridin yang melambai pohon kelapa tersebut agar mau diambil buahnya, seketika itu pohon kelapa menunduk diambilnya dua buah kelapa kemudian dibelah dan ternyata di dalam kelapa tersebut terdapat ikannya.
Sunan Kudus marah dan mengusir Saridin untuk tidak lagi menginjak bumi Panti Kudus. Akhirnya Saridin sembunyi di WC dan berdiri diatas tinja orang, suatu ketika istri Sunan Kudus mau buang hajat, kemudian di kasih bunga melati, marahlah sunan Kudus. Dikejarlah Saridin oleh murid-murid Panti Kudus.
Saridin lari terus keluar dari bumi Pati dan Panti Kudus, ia kehausan dan kelaparan, badannya lelah lunglai, kondisi fisiknya tak stabil. Di pinggir pohon ia tergeletak pingsan. Di antara sadar dan tidak sadar, ia bertemu dengan seorang tua berbaju putih mengenakan sorban, dan memeperkenalkan diri sebagai Sunan Kalijaga. Ia teringat cerita ayah angkatnya, bahwa ketika bayi ia ditemukan oleh orang yang bernama Sunan Kalijaga kemudian diserahkan kepada Ki Ageng Kingiran.[4]
Orang yang mengaku Sunan Kalijaga menceritakan semua asal-usulnya Saridin,
“Suatu ketika Sunan Bonang berkunjung ke Sunan Muria, namun Sunan Muria tidak ada, sedang bertandang ke Sunan Kudus, sambil menunggu Sunan Muria datang, Sunan Bonang meminjam kacip untuk membelah buah pinang (buah jambi) kepada Nyai Sujinah istri sunan Muria, kemudian ia membelah menjadi dua bagian sama besar. Mereka berdua makan sirih berbumbu buah pinang. Karena Sunan Muria ditunggu-tunggu tak kunjung datang, Sunan Bonang mohon diri. Sangat ajaib setelah menikmati buah pinang berdua dengan Sunan Bonang, tiba-tiba Nyai Sujinah hamil.[5] Ketika Sunan Muria pulang, mengetahui keadaan istrinya hamil, Sunan Muria marah, menuduh istrinya telah berbuat serong, namun dibantah oleh Nyai Sujinah. Namun Sunan Muria terdiam tidak mempercayai omongannya Nyai Sujinah. Dengan perasaan malu karena perutnya yang telah membuncit, Nyai Sujinah pergi dari Padepokan Muria. Ia putus asa mau bunuh diri ke sungai, beruntung tanganya aku pegang, selamatlah Nyai Sujinah” Orang yang mengaku Sunan Kalijaga membelai rambut Saridin.
“Akhirnya ponang jabang bayi lahir dari rahim Nyai Sujinah, yaitu kamu Saridin!”
“Kalau begitu aku anaknya Sunan Bonang atau Sunan Muria?” Saridin bersemangat untuk mengetahui siapa bapaknya.
“Aku tidak tahu Din, hanya Tuhan yang tahu, tapi percayalah aku akan selalu jangkung keselamatan jiwamu, berangkatlah kamu menyebrang lautan dengan membawa Kelapa, aku selalu Jangkung kamu, oleh sebab itu saat ini namamu aku beri nama Jangkung” Sunan Kalijaga semakin jauh dari pandangan Saridin. Meski Saridin memanggil-manggil namun suaranya semakin menjauh. Saridin siuman dari pingsannya. Matanya dikucek-kucek, ternyata dia sedang bermimpi.[6]
Saridin mengikuti petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh Orang tua yang mengaku bernama Sunan Kalijaga, ia membawa buah kelapa menyebrangi lautan menuju pulau Sumatra, merapat di sebuah Kerajaan di Sumatra yang belum menjadi wilayah Mataram, Raja tersebut menganggap remeh Sultan Agung. Saridin menyela omongan Raja Sumatra, ia merasa terpanggil sebagai seorang yang sama-sama dari Tanah Jawa. Dia mengaku sebagai hamba Mataram yang mau menguji kesaktian dengan raja Sumatra.[7]
“aku bisa menghitung kekuatan pasukan Minangkabau, yang paduka gelar di alun-alun kerajaan” Ribuan pasukan yang telah siap siaga untuk melawan Sultan Agung Mataram.
“ya, coba kalau bisa kamu menghitung ribuan pasukanku dengan tepat, aku akan mengaku kalah sama kamu, Saridin”. Saridin melesat dengan cepat ke atas, berlari dari ujung ke ujung tombak yang mengacung ke langit. Semua dihitung dengan cepat seperti kilat. Ia berada dihadapan Raja Minangkabau dengan menebak jumlah pasukan yang berbaris. Raja Minangkabau tertunduk, bergetar dan ciut nyalinya menghadapi kesaktian Saridin, seketika itu Raja Minangkabau takluk dihadapan Saridin, namun Saridin tidak menerima sembah bekti, ia menyarankan untuk tunduk kepada Sultan Agung saja, sebab Saridin adalah salah satu hamba dari Mataram. Dengan demikian Raja Minangkabau tunduk-takluk kepada Sultan Agung tanpa perlawanan sama sekali.
Nama Saridin melambung di jagat pelayaran dan para pedagang lintas pulau, selain sakti mandraguna, ia juga dikenal sebagai ahli berdakwah Agama Islam. Beramal ibadah, membantu kaum du’afa dan para fakir-miskin. Ketenaran Saridin sampai ke wilayah Mataram.
Saridin kemudian melanjutkan perjalanannya dengan membawa daun Jati dan Buah Kelapa, sampailah ia di tanah Ngerum, ia bertemu dengan penguasa kerajaan Ngerum, karena kecerdikannya dalam berdoplomasi dengan Penguasa Ngerum, maka ia diangkat menjadi penasehat Raja Ngerum, namun Saridin tidak betah untuk tinggal di kerajaan dengan malas-malasan, ia mohon pamit kepada penguasa Ngerum untuk melanjutkan perjalanan, sebelum berangkat penguasa Ngerum memberikan surat Kanjengan yang menetapkan Saridin sebagai Syeh. Sehingga namanya diganti Syeh Jangkung.
Saridin melanjutkan perjalanannya lewat laut dengan masih membawa daun Jati dan buah Kelapa, ditengah perjalanan ia dihadang oleh sekelompok Bajak laut yang mau merampok, namun para perampok itu dibuat tak berdaya oleh Saridin, bahkan mereka bertaubat untuk menjadi murid Saridin. Saridin alias Syeh Jangkung memerintahkan muridnya yang bekas Bajak Laut untuk mengamankan wilayah pelayaran laut Jawa.
Saridin kembali ke Jawa untuk menemui Ketip Trangkil ia diajak berpetualang ke mancanegara, daerah pertama yang disinggahi adalahCirebon dengan daun Jati dan buah Kelapa, sesampai di kerajaan Cirebon, ia merapat bersama Ketib Trangkil. Di wilayah tersebut telah terjadi pagebluk, Sultan Cirebon memerintahkan prajuritnya untuk mengumumkan sayembara, namun semua orang yang ikut menenangkan Cirebon tidak ada yang berhasil menyirnakan Pagebluk. Sultan Cirebon mengajak prajuritnya mencari orang yang dapat mengusir pagebluk ini. Suatu ketika Ia bermimpi bahwa ada seseorang yang mampu menyembuhkan Pagebluk adalah orang yang berada di Sungai besar dengan membawa kelapanya.[8]
Akhirnya Saridin memberi satu bathok air untuk diminum seluruh rakyat ceribon. Banyak menyangsikan apakah cukup airnya, Saridin meyakinkan orang cirebon bahwa airnya cukup. Dan selamatlah orang Cirebon dari pagebluk. Saridin dikawinkan dengan putri Cirebon, namun Saridin tidak betah untuk tinggal di keraton, ia mau berpetualang menemukan orang yang digdaya.
Saridin dan Kethib Trangkil berangkat ke Metaram mau bertemu dengan Sultan Agung, namun ditengah perjalanan ia bertemu rombongan Prajurit Mataram di hutan, Saridin yakin bahwa Sultan Agung sedang berburu, maka Saridin Sama Khetib Trangkil keluar dari persembunyiannya, setelah keduanya keluar segera ditangkap oleh Adipati Mataram dan ditanyai
“Kamu siapa? Disini mau pamer kesaktian dihadapan Sultan Mataram Ya?, Kamu berdua saya tangkap!” mereka berdua ditangkap dan dihadapkan pada Sultan Agung. Kemudian mereka diajak adu teka-teki dengan Sultan Mataram, bila mereka berhasil menjawab pertanyaannya maka mereka lolos dari hukuman.
“Apa yang dimaksud kalimah Sahadat, Din”
Saridin memanjat pohon kelapa tinggi kemudian jatuh ketanah “Jebluk” ini dilakukan berulang kali ketika Sultan Agung menanyai tentang Kalimat Sahadat. Hal ini membuat Sultan Agung heran.
“kenapa kamu ketika aku Tanya Kalimat Sahadat, kamu malah jatuh dari pohon kelapa yang sangat tinggi”
“Kalimat Sahadat adalah buah tekad yang jatuh, sampai matipun kita kan bertekad membawa kalimah sahadat”
“O, gitu ternyata kamu cerdik, aku mengaku kalah pertanyaan sudah bisa kamu tebak, sekarang gantian kamu, apa pertanyaanmu Din?”
Saridin mengambil bulu ayam untuk orek-orek, dimanakah hilangnya orek-orek ini ?” Sultan Mataram tidak mengerti dan menyerah
“Hilangnya di mata, coba kalau mata ini ditutupi, atau misalnya matanya buta pasti kan gak bisa lihat demikian pula kalau belajar agama tidak disertai dengan membuka mata, maka akan sia-sia belajar agama”
akhirnya Sultan Agung mengakui kehebatan Saridin sehingga diangkat menjadi saudara dengan Sultan Agung dan dikawinkan putri Retno Jinoli
Saridin pulang ke Pati (Kayen) kampung Miyono. Di rumah ia memelihara seekor kerbau jantan. Kerbau besar dan bertanduk melengkung ke bawah, diberi nama Kebo Dhungkul Landhoh. Pemeliharaan Kerbau Saridin menjadi terkenal di wilayah Pati. Lama-lama Sunan Kudus tahu kalau Saridin pulang ke Pati.
“Ini Celaka Saridin Datang kembali, sekarang saridin saya panggil menghadap kembali ke Bumi Panti Kudus” Sunan Kudus mengumpulkan sahabatnya dan mengutarakan niatnya untuk membunuh Saridin. Sunan Kudus menyuruh para sahabatnya agar membuat Bubur Jenang namun dikasih racun, nanti Saridin kusuruh menghadap pagi-pagi, pasti dia belum sempat membuat sarapan. Sunan Kudus mengutus sahabat untuk menemui Saridin.
“Saridin kamu disuruh menghadap ke Sunan kudus pagi-pagi sebelum Matahari keluar, kamu masih mau berguru di Pantai Kudus kan?”
Saridin sama Ki Khetib Trangkil berangkat pagi-pagi menuju Ke Bumi Panti Kudus. Kedatangannya di sambut oleh Sunan Kudus yang telah mempersiapkan rencana jahatnya.
“ Semua selamatkan sehat wal afiatkan?, pagi-pagi sekali ya Din!, Pastinya kamu belum sarapankan?”
“Minta ampun Kanjeng Sunan Saya baru menjalankan Puasa, ini kurang dua hari, jadi amat disayangkan bila hari ini puasa saya dibatalkan, mungkin Kakang Kethib Trangkil yang belum sarapan?”
tanpa malu-malu Bubur jenang langsung disaut untuk dimakan, yang kebetulan perut Kethib Trangkil lapar karena perjalanan dari Pati ke Kudus. Lahap sekali khetib Trangkil memakan Bubur Jenang, dirasa dimulutnya enak banget, sampai kececer dilantai Kanjeng Sunan Kudus.
“ Pelan-pelan kalau makan itu sampai kececer dilantai, nanti dimarahi sama Kanjeng Sunan Kudus”
Kemudian ia di suruh Sunan Kudus untuk masuk ke dapur untuk mengambil lagi bubur Jenang Khetib Trangkil menyikat habis, sampai piringnya dijilati hingga jatuh pecah. ternyata bubur yang diracun itu telah diubah dengan kesaktian Saridin menjadi bubur yang lezat.
Belum lama datang ke Panti Kudus, datanglah seorang wanita membawa cucunya yang telah mati kebanjiran.
“lho ada apa mbok?, tidak saya panggil kok kamu menghadap!”
“Ampun Kanjeng Sunan, cucu saya Mati kena Banjir, saya minta supaya Kanjeng Sunan menyadarkannya!”
“Ini sudah mati Mbok!”
“coba dilihat dulu mungkin belum mati!” Saridin menyela kemudian memberikan bubur Jenang sisa cecran Ki Khetib Trangkil, ternyata mulut cucu itu bergerak-gerak berarti hidup. Maka nanti kalau tempat jadi rame maka akan beri nama Desa Kaliputu.[9]
Merasa malu Sunan Kudus dan penguasa Pati memerintahkan semua daerah Pati dan Kudus untuk memburu menangkap Saridin untuk diadili.Saridin ditangkap kemudian dimasukan ke dalam Tong diglundungkan tapi Saridin ikut mengelindinkan tong tersebut, kemudian atas saran Sunan Kudus Saridin dihukum gantung saja, Saridin digantung tapi Saridin malah ikut menarik gantungan tersebut. Saridin mau dihukum pancung, sebelum eksekusi itu dilakukan ada utusan Metaram dan Ngerum datang kepada Sunan Kudus,[10] bahwa Pati di bawah wilayah Mataram dan Saridin sudah dianggap sebagai saudara sendiri sama Sultan Agung. Sementara utusan Ngerum membawa surat Kekanjengan (sertifikat) bahwa Saridin adalah Syeh yang bergelar Syeh Jangkung.
Akhirnya Sariden diajak Sultan Agung ke Mataram, dan minta pesan bahwa kalau Sultan Agung ia minta dikuburkan di Imogiri saja. Namun daerah ini tandus, oleh Saridin (Syeh Jangkung) daerah ini bisa ada airnya. Syeh Jangkung juga membantu Sultan Agung dalam berperang.
***FREEDOM***

[1] Saridin adalah anak angkat Ki Ageng Giringan. anak perempuan kawin dengan Ki Branjung. Cerita ini bila di gelar sangat panjang sekali karena dari jaman kewalian hingga jaman Sultan Agung. Hal ini sangat membingungkan, kalau cerita ini benar berarti umur Syeh Jangkung dalam perjalanan hidupnya mencapai umur sampai 250 tahun. Namun ada beberapa sastrawan yang mengatakan ini adalah hanya cerita tutur yang berkembang di masyarakat Pati, cerita ini lahir ketika Pati di bawah kekuasaan Mataram, hal ini dapat ditinjau
1. Perseteruan antara Saridin dengan Sunan Kudus, dimana penguasa Mataram yang merupakan keturunan dari Ki Ageng Pemanahan merupakan anak didik Ki Ageng Selo (murid dari Sunan Kalijaga), pada saat itu Ki Ageng Pemanahan bermusuhan dengan Aryo Penangsang (Murid dari Sunan Kudus). Ada beranggapan Persaingan antara murid Sunan Kalijaga dengan murid Sunan Kudus tersebutlah yang mengilhami lahirnya cerita tutur Saridin.
2. Cerita Saridin yang lebih mengagungkan penguasa Mataram yaitu Sultan Agung, padahal Sultan Agung adalah yang pernah menghabisi Pragola II. Ini ada kecenderungan cerita tutur yang istana sentries (pro Mataram). Cerita Saridin ini beredar untuk mensatbilkan wilayah Pati dari dendam terhadap Mataram.
[2] Cerita Saridin ini banyak dijumpai pada tanggapan Ketoprak Pati (wilayah Pati merupakan salah satu gudang para seniman Ketoprak). Selain itu Kita bisa mendengarkan kaset-kaset yang bertemakan Saridin. Atau lewat radio-radio (RRI maupun Radio Swasta) yang sering memutarkan kisah Saridin.
[3] Para sejarawan kesulitan untuk mengetahui periodisasi Kisah Saridin, Praba Hapsara berpendapat bahwa Saridin hidup diantara tiga atau empat generasi. ini adalah hal yang mustahil, apakah mungkin Saridin hidup bersamaan dengan Sunan Kudus Jafar Sidik, kemudian muncul dijaman Pati dibawah Mangun Oneng, atau penguasa Mataram Sultan Agung. Namun ada beberapa orang yang beranggapan bahwa Sunan kudus tersebut? bukan Sunan Kudus Jafar Sidik, namun penguasa Kudus yang berkuasa setelah Jafar Sidik, pengusa tersebut mengambil gelar sama dengan Sunan Kudus.. Sunan Kudus yang ke berapa? Namun kemudian kita kembalikan pada pembaca, belive or not belive, up to you!
[4] Saridin berosebsi ingin bertemu dengan roh Sunan Kalijaga, sampai terbawa di alam bawah sadarnya, bertemu dengan orang tua berbaju putih dan bersorban, Saridin yakin bahwa dia adalah Sunan Kalijaga
[5] ini merupakan cerita yang sangat berseberangan atau bertolak belakang dengan cerita Pakem kewalian, namun masyarakat Pati menganggap ini sebagai cerita Pati versi Saridin. Sebab tidak ada babad yang menulis tentang Saridin. Yang ada hanyalah naskah-naskah yang dikembangkan Seniman ketoprak.
[6] Setelah itu Saridin sering di datangi oleh orang yang mengaku Sunan Kalijaga, seakan orang tersebut dijadikan guru spiritual imajiner, yang hanya ada dalam benak Saridin
[7] ada yang bercerita bahwa Saridin juga merapat ke kerajaan Palembang dan kota-kota sepanjang pelayaran Sumatra.
[8] ada yang beranggapan Saridin adalah pengusa & penjual kelapa dan daun Jati. Ia berdagang sampai ke penjuru nusantara dengan sebuah kapal.
[9] Kaliputu adalah cucu yang hanyut Banjir di kali dapat hidup kembali
[10] Sariden juga pernah bertemu dengan seorang yang sangat sakti di Gunung pati ayam, bernama Ondo Rante, yang konon matinya ditarik oleh empat Gajah menuju arah mata angin dengan menggunakan rantai emas.

Cerita Rakyat Pati Tentang SENDANG SANI


Desa Sani tidak begitu dikenal oleh masyarakat kebanyakan. Walaupun begitu Desa Sani mempunyai kenangan tersendiri yang tidak mudah dilupakan oleh penduduknya. Desa Sani sebenarnya berasal dari sebuah sendang yang ditempati oleh seekor bulus, penjelmaan dari seorang abdi Sunan Bonang.
Pada Zaman dahulu, khususnya di Jawa, banyak berdiri kerajaan-kerajaan Islam. Khususnya kerajaan Demak yang didirikan oleh Raden Patah. Di Demak terkenallah para wali yang giat menyebarkan agama islam. Para Wali itu berjumlah sembilan orang dengan sebutan “Wali Songo”. Di antara kesembilan wali itu terdapatlah seorang wali bernama Sunan Bonang.
Pada suatu hari Sunan Bonang akan pergi ke Gunung Muria untuk menjumpai Sunan Muria. Beliau ditemani oleh dua orang abdinya. Di tengah perjalanan beliau merasa haus dan kegerahan karena matahari yang begitu teriknya bersinar. Kemudian beliau menyuruh salah seorang abdinya mencari air untuk minum dan wudlu.
Abdi tersebut diberi petunjuk oleh Sunan Bonang untuk mencari sumber air di bawah sebuah pohon rindang. Untuk memudahkan pekerjaan, Sunan Bonang membekali abdinya dengan sebuah tongkat sakti untuk ditancapkan di bawah pohon tersebut. Maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, abdi itu pun berhasil menemukan pohon rindang seperti yang diinginkan oleh Sunan Bonang. Dengan segera ditancapkannya tongkat sakti ke tanah. Dan ajaib! Dari tempat itu keluarlah air yang memancar terus-menerus. Maka dalam waktu yang singkat tempat itu telah menjadi sebuah sendang.
Karena gembiranya lupalah ia akan pesan Sunan Bonang. Ia segera turun ke sendang untuk minum dan mandi , menghilangkan dahaga dan kegerahannya.
Karena dirasa abdinya tak junjung kembali, maka Sunan Bonang memutuskan untuk mencarinya. Setelah mencarinya kesana kemari, akhirnya ditemukan juga abdinya itu. Betapa terkejutnya Sunan Bonang ketika melihat abdinya sedang asyik mandi. Maka dengan segera ditegurnyalah abdi itu. Dikutuknya abdi itu, “Lho kamu saya suruh, tidak membawa air, malah mandi seperti Bulus”. Maka dalam sekejap saja abdi Suanan Bonang berubah menjadi seekor bulus.
Ketika bulus bercermin di air sendang, menangislah ia melihat bentuk tubuhnya dari manusia menjadi seekor bulus. Ia minta maaf kepada Sunan Bonang, tetapi perkataan atau kutukan tidak mungkin ditarik kembali. Tidak mungkin sudah meludah dijilat balik, demikian pepatah mengatakan.
Abdi Sunan Bonang yang telah menjadi bulus tidak diperkenankan ikut menuntaskan perjalanan ke Gunung Muria. Ia disuruh tinggal di sendang untuk menjaga sendang tersebut.
Sunan Bonang berujar, “Aku namakan sendang ini Sendang Sani dan kelak tempat ini akan diberi nama desa Sani”. Setelah berujar demikian maka Sunan Bonang pun kembali menuntaskan perjalanan bersama abdinya yang seorang lagi. Beliau melanjutkan perjalanan ke Gunung Muria untuk berunding dengan Sunan Muria mengenai masalah keagamaan.
Demikian sekelumit cerita tentang asal-usul desa Sani. Tentang kebenarannya belum diketahui secara pasti. Sampai sekarang Sendang itu masih tetap asri seperti dulu.
Untuk menghormati penghuni sendang tersebut, maka oleh masyarakat dibuatkanlah suatu tempat khusus. Konon, barang siapa yang berani mengganggu tempat tinggal bulus tersebut, maka orang yang mengganggunya akan jatuh sakit.
Dari cerita di atas hendaknya kita dapat mengambil hikmah. Bahwa apabila kita mendapat suatu kepercayaan untuk melaksanakan suatu pekerjaan hendaknya kita laksanakan sebaik-baiknya dan dengan penuh rasa tanggung jawab. Pepatah mengatakan “Sekali Lancang, seumur hidup orang tak akan percaya”. Sekali orang melakukan kesalahan atau berdusta orang tidak akan mempercayainya lagi.

JM

JM
Powered By Blogger

Halaman

 

© 2013 JARENE MBAHE. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top